Selasa, 24 September 2013

Diktat Etiket & Etika

PERTEMUAN 2
BAB 1 PENDAHULUAN

A.    Pengertian Etiket dan Etika

·    Membicarakan istilah etika memang terkadang menjadi agak rancu dengan istilah etiket dan moral.
Walaupun masing-masing memiliki makna sendiri-sendiri, penerapan istilah ETIKET dan MORAL di dalam realita kehidupan BERETIKA bersifat saling melengkapi.

·    Etiket lebih merupakan penerapan praktis dari etika. Implementasinya akan bervariasi antar-tempat, antar-budaya, antar-orang, antar profesi & antar-masyarakat sebagai hasil dari adab sopan-santun yang bergerak dan bergeser menurut perkembangan zaman. Sedang moral merupakan dasar pembentukan etika.

·    Kata Etika berasal dari bahasa Latin, Etica yang berarti falsafah moral sebagai pedoman cara hidup yang benar dilihat dari sisi pandang agama, norma sosial & budaya.

·    Etika berkaitan dengan kata moral yang dalam bahasa Latin disebut Mos (Mores; jamak) yang berarti adat kebiasaan atau cara hidup seseorang dengan melakukan perbuatan yang baik (kesusilaan) & menghindari perbuatan atau tindakan yang buruk (asusila).

·    Dalam bahasa Yunani, etika disebut Ethos  yang mengindikasi suatu adat kebiasaan/watak kesusilaan.
- Semangat khas kelompok tertentu ethos kerja, kode etik kelompok profesi
- Norma yang dianut o/ kelompok, golongan &  masyarakat tertentu mengenai perbuatan    yg  baik-benar,
-    Studi tentang prinsip-prinsip perilaku yang baik & benar sebagai falsafat moral.

§    Terminius Technicus; artinya etika dipelajari sebagai ilmu pengetahuan yang membahas masalah perbuatan atau tindakan manusia.

§    Manner – custom: artinya etika membahas hal-hal yang terkait dengan tat-cara dan kebiasaan (adat-istiadat) yang melekat pada kodrat manusia dalam pengertian baik-buruk suatu tingkah-laku atau perbuatan yang dilakukan manusia (Aristoteles: Etica Nikomachela).
§    Kamus Besar Bahasa Indonesia mencantumkan bahwa etika menyangkut pemahaman nilai benar-salah yang dianut oleh suatu golongan atau masyarakat  (KBBI, 1988). Etika sebagai rambu-rambu bertindak suatu masyarakat berfungsi untuk mengarahkan, membimbing dan mengingatkan anggota masyarakat untuk selalu melakukan tindakan yang baik (good conduct). Dengan demikian, moral atau moralitas lebih mengarah pada acuan penilaian terhadap perbuatan yang dilakukan seseorang dan etika pada upaya pengkajian sistem nilai yang berlaku dan menjadi acuan bertindak.


§    Kata ETIKET (Etiquete) berasal dari bahasa Perancis  yang   menyandang arti tata cara pergaulan yang baik antar- sesama manusia.

§    Etika pergaulan/berkenalan, misalnya, harus dilakukan dengan  tepat. Untuk itu diperlukan informasi sebelumnya mengenai orang yang akan diperkenalkan, menyangkut hal-hal yang bersifat umum (nama, pekerjaan, jenis dan level bahasa, serta cara berbicara yang dikaitkan dengan status sosial-ekonomi, budaya, latar belakang pendidikan, dan usia orang yang akan diperkenalkan).

§    Dengan demikian, etiket merupakan sarana untuk kelancaran berkomunikasi di dalam pergaulan dan juga membantu pencapaian suatu cita-cita. (Prof.Aida Vitayala Hubeis)

A.Pengertian Etiket

 Etiket ( Belanda) secarik kertas yang ditempelkan pada kemasan barang-barang (dagang) yang bertuliskan nama, isi, dan sebagainya tentang barang itu. Etiket berasal dari kata Perancis etiquette yang berarti adat sopan santun atau tata krama yang per lu selalu di perhatikan dalam pergaulan agar hubungan selalu baik. Etiket adalah perilaku yang di anggap pas, cocok, sopan, dan terhormat dari seseorang yang bersifat pribadi seperti gaya makan, gaya berpakaian, gaya berbicara, gaya berjalan, gaya duduk, dan gaya tidur. Namun, karena etiket
 seseorang menghubungkannya dengan pihak lain, maka etiket menjadi peraturan sopan santun  dalam pergaulan dan hidup bermasyarakat.


B.Ciri-ciri Etiket

Etiket menyangkut cara suatu perbuatan, kebiasaaan, adat-istiadat, atau cara-cara tertentu  yang dianut oleh sekelompok masyarakat dalam melakukan sesuatu. Contohnya sebuah etiket adalah member i dengan tangan kanan.

Etiket hanya berlaku dalam pergaulan sosial. Maksudnya, jika tidak ada saksi atau orang maka peraturan (kebisaaan) tidak berlaku. Contohnya adalah ketika seseorang menaruh kakinya diatas meja sementara ia duduk di atas  kursi dan orang lain sama- sama duduk dengannya, maka hal ini menjadi suatu perbuatan yang tidak beretiket . Namun, tindakan seperti itu tidak menjadi persoalan ketika tidak ada yang melihatnya atau ketika ia hanya  duduk  sendirian.

Etiket bersifat sangat relatif. Tidak sopan pada suatu kelompok masyarakat tertentu, bisa jadi tidak menjadi masalah pada kelompok masyarakat lain. Mendahak pada waktu makan merupakan pelanggaran terhadap etiket yang bersifat relatif, sementara membunuh atau mencuri merupakan pelanggaran terhadap etika yang bersifat absolut. Itulah sebabnya, dimanapun dan kapan punmembunuh dan mencuri merupakan hal yang dipersalahkan. Etiket   lebih berhubungan dan  melihat hal- hal yang bersifat lahiriah atau penampilan f isik,

Etiket juga berhubungan sangat erat dengan sopan santun (kedudukan keduanya dapat berganti tempat). Oleh sebab itu, Sopan santun hanya menekankan penyesuaian lahiriah kepada norma- norma Sopan santun juga bertujuan memperlancar atau mengharmoniskan pergaulan sosial di antara manusia. Sopan santun cenderung mengaburkan soal yang penting dan tidak penting. Ada kalanya sopan santun mengutamakan yang kurang penting. Misalnya, menjabat tangan seseorang yang kita sudah kenal atau akan kita kenal pada saat berjumpa, atau mengucapkan ‘terima kasih’ kepada orang lain yang memberikan sesuatu. 





C. Prinsip Etiket

1.    RESPECT ( Rasa hormat ), dalam etiket kita harus mempunyai sikap respectya itu rasa hormat, menghargai, peduli, dan dapat memahami orang lain. Jadi sikap respect sangat penting sehingga apabila kita bersikap respect kepada orang lain, maka orang lain pun akan respect kepada kita.

2.    Empati, adalah pondasi dari semua interaksi hubungan antar manusia. Mampu merasakan kondisi emosional orang lain. Empati dapat mengontrol sikap, per ilaku, dan perkataan kita. Empati membuat kita dapat turut merasa senang dengan kesenangan orang lain, juga turut berdukadengan kesusahan orang lain. Dengan bersikap empati kita bisa menjadi
     lebih bijaksana bersikap dan beretiket dalam kehidupan sehari- hari.

3.    Jujur. Kunci sukses dalam menjalin sebuah hubungan yang baik adalah dengan bersikap jujur. Dengan berkata jujur, kita akan menjadi pribadi yang apa adanya tanpa perlu ada yang ditutup-tutupi.

D. Perbedaan antara Etiket dengan  Etika:

1.    Etiket menyangkut cara melakukan perbuatan manusia. Etiket menunjukkan cara yang tepat artinya cara yang di harapkan serta ditentukan dalam sebuah kalangan tertentu. Etika tidak  terbatas pada cara melakukansebuah perbuatan, etika memberi norma tentang perbuatan itu sendiri. Etika menyangkut masalah apakah sebuah perbuatan boleh dilakukan atau tidak boleh dilakukan.

2.    Etiket hanya berlaku untuk pergaulan. Etika selalu berlaku walaupun tidak ada orang lain. Barang yang dipinjam harus di kembalikan walaupun pemiliknya sudah lupa.

3.    Etiket bersifat relatif. Yang dianggap tidak sopan dalam sebuah kebudayaan,dapat saja di anggap sopan dalam kebudayaan lain. Etika jauh lebih absolut. Perintah seperti ‘jangan berbohong´, ‘jangan mencuri´ merupakan pr insip etika yang tidak dapat ditawar-tawar.
4.    Etiket
hanya memadang manusia dari segi lahiriah saja sedangkan etika memandang manusia dari segi dalam. Penipu misalnya tutur katanya lembut, memegang etiket namun menipu. Orang dapat memegang etiket namun munafik sebaliknya seseorang yang berpegang pada etika tidak mungk in munafik karena seandainya dia munaf ik maka dia tidak bersikap etis. Orang yang bersikap etis adalah orang yang sungguh-sungguh baik.  



























PERTEMUAN 3
Teori-Teori Etika


1.    Teori Hedoisme

Filasafat Yunani Hedonisme ditemukan Aristippos dari Kyrene (sekitar 433-355 s.M.) murid Sokrates. Aristippos mengatakan: yang sungguh baik bagi manusia adalah kesenangan. Kesenangan itu bersifat badani belaka, karena hakikatnya tidak lain daripada gerak dalam badan. Gerak itu ia membedakan 3 kemungkinan: gerak kasar dan itulah ketidaksenangan, contoh: rasa sakit, gerak yang halus itulah kesenangan, sedangkan tiadanya gerak merupakan suatu keadaan netral, contoh: tidur.
Aristippos mengatakan bahwa kesenangan harus dimengerti sebagai kesenangan aktual, bukan kesenangan dari masa lampau dan kesenangan di masa mendatang.

Filsuf Yunani Epikuros (341-270 s.M) di Athena mengatakan Hedonisme adalah kesenangan (hedone) sebagai tujuan kehidupan manusia yakni kesenangan itu ada yang melebihi tahap badani, memandang kehidupan sebagai keseluruhan termasuk juga masa lampau dan masa depan.
Pada dasarnya setiap kesenangan bisa dinilai baik, namun itu tidak berarti bahwa setiap kesenangan harus dimanfaatkan juga. Ada 3 macam keinginan menurut Epikuros:
-    Keinginan alamiah (perlu seperti makanan)
-    Keinginan alamiah yang tidak perlu ( seperti makanan yg enak)
-    Keinginan yang sia-sia (seperti kekayaan)
Hedonisme atau pandangan yang menyamakan “baik secara moral” dengan “kesenangan” tidak saja merupakan suatu pandangan pada permulaan sejarah filsafat, tetapi di kemudian hari sering kembali dalam pelbagai variasi.




2.    Teori Eudemonisme

Menurut Aristoteles mengatakan dalam setiap kegiatan manusia mengejar suatu tujuan. Bisa dikatakan dalam setiap perbuatan kita ingin mencapai sesuatu yang baik bagi kita. Sering kali kita mencari suatu tujuan untuk mencapai tujuan yang lain lagi. Contoh: kita minum obat untuk bisa tidur dan kita tidur untuk dapat memulihkan kesehatan.

Menurut Aristolteles, seseorang mencapai tujuan terakhir dengan menjalankan fungsinya dengan baik. Contoh:
- Tujuan terakhir pemain suling adalah main dengan baik
-  Tujuan terakhir tukang sepatu adalah membuat sepatu yang baik
Jika manusia menjalankan fungsinya sebagai manusia yang baik, ia juga mencapai tujuan terakhir atau kebahagian.

Menurut Aristoteles, manusia adalah baik dalam arti moral, jika selalu mengadakan pilihan-pilihan rasional yang tepat dalam perbuatan moralnya dan mencapai keunggulan dalam penalaran intelektual. Orang seperti itu adalah bahagia. Kebahagiaan itu akan disertai kesenangan juga, walaupun kesenangan tidak merupakan inti yang sebenarnya dari kebahagiaan. Banyak pemikir sampai sekarang memfokuskan prinsip-prinsip dalam menilai masalah moral, menyadari bahwa keutamaan adalah prespektif penting juga yang tidak boleh diabaikan, biarpun ada keterbatasannya.

3.    Teori Utilitarisme

Utilitarisme Klasik

Menurut Jeremy Bentham (1748-1832) utilitarisme maksudnya sebagai dasar etis untuk membaharuhi hukum inggris, khususnya hukum pidana. Jadi ia tidak ingin menciptakan suatu teori moral abstrak, tetapi mempunyai maksud sangat konkret. Ia berpendapat bahwa tujuan hukum adalah memajukan para warga negara dan bukan memaksakan perintah-perintah ilahi atau melindungi yang disebut hak-hak kodrati.

Bentham mengusulkan suatu klasifikasi kejahatan yang didasarkan atas berat tidaknya pelanggaran dan yang terakhir ini diukur berdasarkan kesusahan atau penderitaan yang diakibatkannya terhadap para korban dan masyarakat. Suatu pelanggaran yang tidak merugikan orang lain, menurut Bentham sebaiknya tidak dianggap sebagai tindakan kriminal, contoh: pelanggaran seksual yang dilakukan atas dasar suka sama suka.

Dalam hal ini Bentham meninggalkan Hedonisme individualistis dan egoistis dengan menekankan, bahwa kebahagiaan itu menyangkut seluruh umat manusia. Moralitas suatu tindakan harus ditentukan dengan menimbang kegunaanya untuk mencapai kebahagiaan umat manusia. Dengan demikian Bentham sampai pada the principle of utility yang berbunyi: kebahagiaan terbesar dari jumlah orang terbesar. Prinsip kegunaan ini menjadi norma untuk tindakan-tindakan kita pribadi maupun untuk kebijaksanaan pemerintah, contohnya: dalam menentukan hukum pidana.

Menurut filsuf inggris, Jhon Stuart Mill (1806-1873). Pertama ia mengeritik pandangan Bentham bahwa kesenangan dan kebahagiaan harus diukur secara kuantitatif. Ia berpendapat bahwa kualitasnya perlu dipertimbangkan juga, karena ada kesenangan yang lebih tinggi mutunya dan ada yang lebih rendah. Kesenangan manusia harus lebih tinggi daripada kesenangan hewan, tegasnya, dan kesenangan orang seperti Sokrates lebih bermutu daripada kesenangan orang tolol. Tetapi kualitas kebahagiaan dapat diukur juga secara empiris, yaitu kita harus berpedoman pada orang bijaksana dan berpengalaman dalam hal ini. Orang seperti itu dapat memberi kepastian tentang mutu kesenangan.

Pikiran Mill kedua, bahwa kebahagiaan semua orang yang terlibat dalam suatu kejadian, bukan kebahagiaan satu orang saja yang barangkali bertindak sebagai pelaku utama. Contoh: Raja dan seorang bawahan dalam hal ini harus diperlakukan sama. Kebahagiaan satu orang tidak pernah boleh dianggap lebih penting daripada kebahagiaan orang lain. Menurut perkataan Mill sendiri, demikian suatu perbuatan dinilai baik, jika kebahagiaan melebihi ketidakbahagiaan, di mana kebahagiaan semua orang yang terlibat dihitung dengan cara yang sama. 


 Utilitarisme Aturan

Ada 2 macam Utilitarisme: utilitarisme perbuatan dan utilitarisme aturan. Hal ini dikemukakan oleh filsuf Inggris-Amerika Stephen Toulmin. Toulmin dan kawan-kawannya menegaskan bahwa prinsip kegunaan tidak harus diterapkan atas salah satu perbuatan (sebagaimana dipikirkan dalam utilitarisme klasik), melainkan atas aturan-aturan moral yang mengatur perbuatan-perbuatan kita, contoh: “orang harus menepati janji” pasti paling berguna dan karena itu harus diterima sebagai aturan moral.

Filsuf seperti Richard B.Brandt mengatakan sistem aturan moral sebagai keseluruhan diuji dengan prinsip kegunaan. Kalau begitu, perbuatan adalah baik secara moral, bila sesuai dengan aturan yang berfungsi dalam sistem aturan moral yang paling berguna bagi suatu masyarakat.

4.    Teori Deontologi

Semua sistem etika yang dibahas sampai disini memperhatikan hasil perbuatan. Baik tidaknya perbuatan dianggap tergantung pada konsekuensinya. Karena itu sistem-sistem ini disebut juga sistem konsekuensialistis.

Sistem-sistem etika yang dibicarakan sebelumnya semua berorientasi pada tujuan perbuatan. Dalam utilitarisme, umpamanya, tujuan perbuatan-perbuatan moral adalah memaksimalkan kegunaan atau kebahagiaan bagi sebanyak mungkin orang.

Teori yang dimaksudkan ini biasanya disebut deontologi (kata Yunani deon berarti: apa yang harus dilakukan; kewajiban)

1.    Deontologi Menurut L.Kant

Yang menciptakan sistem moral ini adalah filsuf besar dari Jerman, Immanuel Kant (1724-1804). Menurut Kant, yang bisa disebut baik dalam arti sesungguhnya hanyalah kehendak yang baik. Semua hal lain disebut baik secara terbatas atau dengan syarat. Kesehatan, kekayaan, atau inteligensi, misalnya: adalah baik, jika digunakan dengan baik oleh kehendak manusia, tapi jika dipakai oleh kehendak yang jahat semua hal itu bisa menjadi jelek sekali. Bahkan keutamaan-keutamaan bisa disalahgunakan oleh kehendak yang jahat.

Pertanyaan pertama yang timbul sekarang adalah: apa yang membuat kehendak menjadi baik? Menurut Kant kehendak menjadi baik, jika bertindak karena kewajiban. Bertindak sesuai dengan kewajiban oleh Kant disebut legalitas. Dengan legalitas kita memenuhi norma hukum. Contoh: tidak penting dengan motif apa saya membayar pajak, asal saja saya bayar jumlah uang yang sesuai dengan kewajiban saya. Tetapi dengan itu saya belum memenuhi norma moral. Saya baru memasuki taraf moralitas, jika saya melakukan perbuatan semata-mata karena kewajiban. Kata Kant, perbuatan bersifat moral, jika dilakukan semata-mata “karena hormat untuk hukum moral, dimaksudkannya kewajiban.

Menurut Kant imperaktif ada 2 macam,adalah:

-    Imperaktif  kategoris
Artinya imperaktif (perintah) yang mewajibkan begitu saja, tanpa syarat. Imperaktif ini menjiwai semua peraturan etis. Contoh: janji harus ditepati (senang atau tidak senang); barang yang dipinjam harus dikembalikan (juga bila pemiliknya sudah lupa).

Dibidang moral, tingkah laku manusia hanya dibimbing oleh norma yang mewajibkan begitu saja, bukan oleh pertimbangan lain.

-    Imperaktif  hipotesis
Artinya selalu diikutsertakan sebuah syarat. Bentuknya adalah: kalau engkau ingin mencapai suatu tujuan, maka engkau harus menghendaki juga sarana-sarana yang menuju ke tujuan tersebut. Contoh:  kita harus belajar dengan tekun untuk mencapai tujuan (lulus).

2.    W.D.Ross
Seorang filsuf Inggris abad ke-20, William David Ross (1877-1971) mengatakan kewajiban itu selalu merupakan kewajiban prima facie (pada pandangan pertama) artinya, suatu kewajiban untuk sementara, dan hanya berlaku sampai timbul kewajiban lebih penting lagi yang mengalahkan kewajiban pertama tadi. Contoh: diatas terjadi konflik antara dua kewajiban yang tidak bisa dipenuhi sekaligus. Di satu pihak saya wajib mengatakan yang benar dan di lain pihak saya wajib menyelamatkan teman yang tidak bersalah.

Ross menyusun sebuah daftar kewajiban yang semuanya merupakan kewajiban prima facie:

1.    Kewajiban kesetiaan: kita harus menepati janji yang diadakan dengan bebas.
2.    Kewajiban ganti rugi: kita harus melunasi utang moril dan materiil
3.    Kewajiban terima kasih: kita harus berterima kasih kepada orang yang berbuat baik terhadap kita.
4.    Kewajiban keadilan: kita harus membagikan hal-hal yang menyenangkan sesuai dengan jasa orang-orang bersangkutan.
5.    Kewajiban berbuat baik: kita harus membantu orang lain yang membutuhkan bantuan kita.
6.    Kewajiban mengembangkan diri: kita harus mengembangkan dan meningkatkan bakat kita dibidang keutamaan, inteligensi, dan sebagainya.
7.    Kewajiban untuk tidak merugikan: kita tidak boleh melakukan sesuatu yang merugikan orang lain

Hal itu berlaku juga untuk dua sistem yang paling berbobot dalam sejarah filsafat moderen: utilitarisme dan deontologi.

Sekarang para filsuf berusaha mengadakan sintesis antara pendekatan untilitarisme dan pendekatan deontologis. Di situ mereka sering kali juga memanfaatkan unsur-unsur dari sistem-sistem lain, khususnya eudemonisme Aristoteles.
                   





Pertemuan 5

1.    Hati Nurani sebagai Fenomena Moral
Contoh
Seorang hakim telah menjatuhkan vonis dalam suatu perkara pengadilan yang penting. Malam sebelumnya ia didatangi oleh wakil dari pihak terdakwa. Orang itu menawarkan sejumlah uang, bila si hakim bersedia memenangkan pihaknya. Hakim yakin bahwa terdakwa itu bersalah. Bahan bukti yang telah dikumpulkan dengan jelas menunjukkan hal itu. Tapi ia tergiur oleh uang begitu banyak, sehingga tidak bisa lain daripada menerima penawaran itu. Ia telah memutuskan terdakwa tidak bersalah dan membebaskannya dari segala tuntutan hukum. Kejadian ini sangat menguntungkan untuk dia. Sekarang ia sanggup menyekolahkan anaknya ke luar negeri dan membeli rumah yang sudah lama diidam-idamkan oleh istrinya. Namun demikian, ia tidak bahagia. Dalam batinnya ia merasa gelisah. Ia seolah-olah “malu” terhadap dirinya sendiri. Bukan karena ia takut kejadian itu akan diketahui oleh atasannya. Selain anggota keluarga terdekat tidak ada yang tahu. Prosedurnya begitu hati-hati dan teliti, sehingga kasus suap itu tidak akan pernah diketahui oleh orang lain. Namun kepastian ini tidak bisa menghilangkan kegelisahannya. Baru kali ini ia menyerah terhadap godaan semacam itu. Sampai sekarang ia selalu setia pada sumpahnya ketika dilantik dalam jabatan yang luhur ini. Mengapa kali ini ia sampai terjatuh ? Ia merasa marah dan mual terhadap dirinya sendiri.
Thomas Grissom adalah seorang ahli fisika berkebangsaan Amerika Serikat. Selama hampir 15 tahun ia bekerja dalam usaha pengembangan dan pembangunan generator neutron. Sedemikian besar semangatnya, sehingga ia hampir-hampir lupa akan tujuan benda-benda yang dibuatnya itu, yaitu menggalakkan dan menghasilkan senjata-senjata nuklir. Lama-kelamaan hati nuraninya mulai merasa terganggu, khususnya setelah ia membaca dalam karya sejarahwan tersohor, Arnold Toynbee, berjudul A Study of History, kalimat berikut ini: “Bila orang mempersiapkan perang, sudah ada perang”. Baru pada saat itu ia menyadari, ia sedang memberikan bantuannya kepada suatu perang nuklir yang mampu memusnahkan sebagian besar permukaan bumi. Padahal, seluruh kepribadiannya memberontak terhadap kemungkinan terjadinya hal serupa itu. Ia membicarakan kegelisahan batinnya dengan istri. Ia mempertimbangkan konsekuensi-konsekuensi finansial, bila ia berhenti bekerja di Laboratorium Nasional Amerika. Tentu ia menyadari juga, bila ia keluar, tempatnya akan diisi oleh orang lain yang akan melanjutkan pekerjaannya, sehingga tindakan protesnya tidak efektif sama sekali. Bagaimanapun Grissom memutuskan ia tidak bisa bekerja lagi untuk industri persenjataan nuklir. Ia menjadi dosen pada Evergreen State College di Olympia, Washington. Gajinya hanya kira-kira separuh dari 75.000 dolar yang diperolehnya di Laboratorium Nasional.
a.    Kesadaran dan Hati Nurani
Hanya manusia mempunyai kesadaran. Dengan kesadaran kita maksudkan kesanggupan manusia untuk mengenal dirinya sendiri dan karena itu berefleksi tentang dirinya.
Untuk menunjukkan kesadaran, dalam bahasa Latin dan bahasa-bahasa yang diturunkan daripadanya, dipakai kata conscientia. Kata itu berasal dari kata kerja scire (mengetahui) dan awalan con- (bersama dengan, turut). saja Dengan demikian conscientia sebenarnya berarti “turut mengetahui” dan mengingatkan kita pada gejala “penggandaan” yang disebut tadi: bukan saya melihat pohon itu, tapi saya juga “turut mengetahui” bahwa sayalah yang melihat pohon itu. Sambil melihat, saya sadar akan diri sendiri sebagai subyek yang melihat. Nah, kata conscientia yang sama dalam bahasa Latin (dan bahasa-bahasa yang serumpun dengannya) digunakan juga untuk menunjukkan “hati nurani”. Dalam hati nurani berlangsung juga penggandaan yang sejenis. Bukan saja manusia melakukan perbuatan-perbuatan yang bersifat moral (baik atau buruk), tapi ada juga yang “turut mengetahui” tentang perbuatan-perbuatan moral kita. Dalam diri kita, seolah-olah ada instansi yang menilai dari segi moral perbuatan-perbuatan yang kita lakukan. Hati nurani merupakan semacam “saksi” tentang perbuatan-perbuatan moral kita. Kenyataan itu diungkapkan dengan baik melalui kata Latin conscientia.
b.    Hati Nurani Retrospektif dan Hati Nurani Prospektif
Hati nurani retrospektif memberikan penilaian tentang perbuatan-perbuatan yang telah berlangsung di masa lampau. Hati nurani ini seakan-akan menoleh ke belakang dan menilai perbuatan-perbuatan yang sudah lewat. Contoh pada awal bab ini menyangkut hati nurani retrospektif. Hati nurani dalam arti retrospektif menuduh atau mencelah, bila perbuatannya jelek, dan sebaliknya, memuji atau memberi rasa puas, bila perbuatannya dianggap baik. Jadi, hati nurani ini merupakan semacam instansi kehakiman dalam batin kita tentang perbuatan yang telah berlangsung.
Hati nurani prospektif melihat ke masa depan dan menilai perbuatan-perbuatan kita yang akan datang. Hati nurani dalam arti ini mengajak kita untuk melakukan sesuatu atau seperti barangkali lebih banyak terjadi mengatakan “jangan” dan melarang untuk melakukan sesuatu. Di sini pun rupanya aspek negatif lebih mencolok. Dalam hati nurani prospektif ini sebenarnya terkandung semacam ramalan.
Simpulan bahwa hati nurani terutama berbicara dalam perbuatan itu sendiri pada saat dilakukan. Tapi bisa terjadi suatu orientasi ke masa lampau atau suatu orientasi ke masa depan: ke perbuatan yang sudah berlangsung atau ke perbuatan yang akan berlangsung lagi.
c.    Hati Nurani Bersifat Personal dan Adipersonal
Hati nurani bersifat personal, artinya, selalu berkaitan erat dengan pribadi bersangkutan. Norma-norma dan cita-cita yang saya terima dalam hidup sehari-hari dan seolah-olah melekat pada pribadi saya, akan tampak juga dalam ucapan-ucapan hati nurani saya.
Hati nurani diwarnai oleh kepribadian kita. Hati nurani akan berkembang juga bersama dengan perkembangan seluruh kepribadian kita: sebagai orang setengah baya yang sudah banyak pengalaman hidup tentu hati nurani saya bercorak lain daripada ketika masih remaja. Ada alasan lain lagi untuk mengatakan bahwa hati nurani bersifat personal, yaitu hati nurani hanya berbicara atas nama saya.
Karena aspek adipersonal itu, orang beragama kerap kali mengatakan bahwa hati nurani adalah suara Tuhan atau bahwa Tuhan berbicara melalui hati nurani. Ungkapan seperti itu dapat dibenarkan. Bagi orang beragama hati nurani memang memiliki suatu dimensi religius. Kalau ia mengambil keputusan atas dasar hati nurani, artinya kalau ia sungguh-sungguh yakin bahwa ia harus berbuat demikian dan tidak bisa lain tanpa menghancurkan integritas pribadinya, maka ia akan mengambil keputusannya di hadapan Tuhan.
Seperti akan dijelaskan lagi, hati nurani tidak melepaskan kita dari kewajiban untuk bersikap kritis dan mempertanggungjawabkan perbuatan-perbuatan kita secara obyektif. Tidak dapat dikatakan bahwa hati nurani merupakan hak istimewa orang beragama saja. Setiap orang mempunyai hati nurani karena ia manusia. Kenyataan itu justru menyediakan landasan untuk mencapai persetujuan di bidang etis antara semua manusia, melampaui segala perbedaan mengenai agama, kebudayaan, posisi ekonomis, dll.
d.    Hati nurani sebagai norma moral yang subyektif
Terdapat suatu tendensi kuat dalam filsafat untuk mengakui bahwa hati nurani secara khusus harus dikaitkan dengan rasio. Kami juga berpendapat demikian. Alasannya, karena hati nurani memberi suatu penilaian, artinya, suatu putusan (judgement). Ia menegaskan: ini baik dan harus dilakukan atau itu buruk dan tidak boleh dilakukan. Mengemukakan putusan jelas merupakan suatu fungsi dari rasio.
Dapat disimpulkan bahwa tidak pernah kita boleh bertindak bertentangan dengan hati nurani. Hati nurani selalu harus diikuti, juga kalau-secara obyektif-ia sesat. Akan tetapi, manusia wajib juga mengembangkan hati nurani dan seluruh kepribadian etisnya sampai menjadi matang dan seimbang. Pada orang yang sungguh-sungguh dewasa dalam bidang etis, putusan subyektif dari hati nurani akan sesuai dengan kualitas obyektif dari perbuatannya. Pada orang serupa itu, yang baik secara subyektif akan sama dengan yang baik secara obyektif. Karena itu perlu kita pelajari lagi cara bagaimana keadaaan ideal itu bisa dicapai.
e.    Pembinaan hati nurani
Filsuf Prancis Gabriel Madinier (1895-1958) mengemukakan beberapa pikiran yang pantas diperhatikan. Tempat yang serasi untuk pendidikan moral adalah keluarga, bukan sekolah. Pendidikan hati nurani, itu harus dijalankan demikian rupa sehingga si anak menyadari tanggung jawabnya sendiri.
Tujuan akhir pendidikan sebagai keseluruhan adalah kemandirian serta otonomi anak didik, demikian juga di bidang moral. Anak-anak harus belajar menjalankan kewajiban mereka karena keyakinan, bukan karena paksaan dari luar. Ketakutan akan sanksi yang mewarnai permulaan kehidupan moral, lama-kelamaan harus diganti dengan cinta akan nilai-nilai.
2.    Hati nurani dan “Superego”

1.    Pandangan Freud tentang struktur kepribadian
Instansi ini masing-masing adalah Id, Ego, Superego. Superego itu berhubungan erat dengan apa yang kita sebut dalam etika dengan nama “hati nurani”.
a.    Id
Freud memakai istilah “id” untuk menunjukkan ketaksadaran. Tentang Id berlaku: bukan aku (=subyek) yang melakukan dalam diri aku. Bagi Freud, adanya Id telah terbukti terutama dengan tiga cara, yaitu:
-    Faktor Psikis, yang paling jelas membuktikan adanya Id adalah: mimpi. Bukunya yang pertama di bidang psikoanalisis justru membahas mimpi (Penafsiran mimpi, 1900). Tentang mimpi berlaku bahwa ”bukan sayalah yang bermimpi tapi ada yang bermimpi dalam diri saya”. Bila bermimpi, si pemimpi seolah-olah hanya merupakan penonton pasif. Tontonan itu disajikan kepadanya oleh ketaksadaran.

-    Adanya Id terbukti juga, jika kita pelajari perbuatan-perbuatan yang pada pandangan pertama rupanya remeh saja dan tidak punya arti, seperti perbuatan keliru, salah ucap, “keseleo Lidah”, lupa, dsb. Menurut pendapat Freud, perbuatan-perbuatan seperti itu tidak kebetulan, tapi berasal dari kegiatan psikis yang tak sadar.

-    Id terdiri dari naluri-naluri bawaan, pada mulanya Id sama sekali tidak terpengaruh oleh kontrol pihak subyek. Id harusnya melakukan apa yang disukai. Kata Freud: Id dipimpin oleh “prinsip kesenangan” (the pleasure principle). Id sama sekali tidak mengenal waktu (timeless).
Namun perlu ditekankan bahwa Id atau ketaksadaran merupakan suatu kenyataan psikologis yang normal dan universal. Hidup psikis setiap manusia didasarkan atas Id itu.



b.    Ego
Aktivitas Ego bisa sadar, prasadar, maupun tak sadar. Contoh aktivitas sadar boleh disebut: persepsi lahiriah (saya melihat pohon di situ), persepsi batiniah (saya merasa sedih) dan proses-proses intelektual.
Contoh tentang aktivitas prasadar, dapat dikemukakan fungsi ingatan (saya mengingat kembali nama yang tadinya saya lupa).
Dan aktivitas tak sadar dijalankan oleh Ego melalui mekanisme-mekanisme pertahanan (defence mechanisms), contoh: orang yang dalam hati kecilnya sangat takut pada kenyataannya berlagak gagah berani. Ego dikuasai oleh “prinsip realitas” kata freud, sebagaimana tampak dalam pemikiran yang obyektif, yang sesuai dengan tuntutan-tuntutan sosial, yang bersifat rasional dan mengungkapkan diri melalui bahasa.
Tugas Ego (bukan Id dan naluri-naluri) untuk mempertahankan kepribadiannya sendiri dan menjamin penyesuaian dengan alam sekitar, lagi pula untuk memecahkan konflik-konflik dengan realitas dan konflik-konflik dengan yang tidak cocok satu sama lain.
c.     Superego
Superego adalah instansi yang melepaskan diri dari Ego dalam bentuk observasi-diri, kritik-diri, larangan dan tindakan refleksi lainnya, pokoknya, tindakan terhadap dirinya sendiri. Superego dibentuk selama masa anak melalui jalan internalisasi (pembatinan) dari faktor-faktor represif yang dialami subyek sepanjang perkembangannya. Faktor-faktor yang pernah tampil sebagai “asing” bagi si subyek, kemudian diterima olehnya dan dianggap sebagai sesuatu yang berasal dari dirinya sendiri. Larangan, perintah, anjuran, cita-cita, dsb yang berasal dari luar (para pengasuh, khususnya orang tua), diterima sepenuhnya oleh si subyek, sehingga akhirnya terpancar dari dalam. “Engkau tidak boleh mencuri” (larangan dari orang tua) akhirnya menjadi “Aku tidak boleh mencuri”. Engkau harus mengembalikan barang milik orang lain” (perintah dari orang tua) akhirnya menjadi “Aku harus mengembalikan barang milik orang lain”. “Anak putri tidak boleh memanjat pohon” (teguran dari kakak) menjadi “Saya tidak boleh memanjat pohon, karena hal itu tidak patut untuk anak perempuan.
2.    Hubungan hati nurani dengan Superego
Tentang hubungan antara hati nurani dan Superego dapat dikatakan sebagai berikut. Sebaiknya Superego dimengerti sebagai dasar psikologis bagi fenomena etis yang kita sebut “hati nurani” atau lebih tepat kita katakan, sebagai dasar psikologis antara lain bagi fungsi seperti hati nurani yang etis. Sebab, menurut pandangan Freud, Superego bersifat lebih luas daripada hati nurani saja.
Ia mengatakan bahwa selain hati nurani Superego meliputi juga fungsi-fungsi observasi-diri dan “ideal dari aku” (gambaran yang dipakai subyek untuk mengukur dirinya dan sebagai standar yang harus dikejar). Tidak ada keberatan juga untuk menerima penjelasan Freud tentang asal-usul Superego. Bisa saja Superego terbentuk karena internalisasi dari perintah-perintah dan larangan-larangan orangtua. Harus disetujui dengan Freud bahwa fungsi-fungsi psikas manusia pada permulaan hidupnya praktis sama dengan nol dan dari situ mengalami suatu perkembangan berbelit-belit sampai akhirnya mencapai taraf kedewasaan.












PERTEMUAN 6
Perkembangan Kesadaran Moral

Menurut Kohlberg, ada 6 tahap dalam perkembangan moral pada anak-anak berumur sekitar 6 tahun:
a.    Tingkat Prakonvensional
Pada tingkat ini si anak mengakui adanya aturan-aturan dan baik serta buruk mulai mempunyai arti baginya, tapi hal itu semata-mata dihubungkan dengan reaksi orang lain. Penilaian tentang baik buruknya perbuatan hanya ditentukan oleh faktor-faktor dari luar.
Pada tingkat prakonvesional ini dapat dibedakan 2 tahap:
Tahap 1: Orientasi hukuman dan kepatuhan.
    Prespektif si anak semata-mata egosentris. Ia membatasi diri pada kepentingannya sendiri dan belum memandang kepentingan orang lain.
Tahap 2: Orientasi relativis instrumental
     Perbuatan adalah baik, jika ibarat instrumen (alat) dapat memenuhi kebutuhan sendiri dan  kadang-kadang juga kebutuhan orang lain. Anak mulai menyadari kepentingan orang lain juga, tapi hubungan antara manusia dianggapnya seperti hubungan orang di pasar.
b.    Tingkat Konvensional

Umur 10 dan 13 tahun, disini perbuatan-perbuatan mulai dinilai atas dasar norma-norma umum dan kewajiban serta otoritas dijunjung tinggi. Tingkat ini oleh Kohlberg disebut “konvesional”, karena disini anak mulai menyesuaikan (bahasa Latin: convenire) penilaian dan prilakunya dengan harapan orang lain atau kode yang berlaku dalam kelompok sosialnya.

Dalam sikapnya si anak tidak hanya menyesuaikan diri dengan harapan orang-orang tertentu atau dengan ketertiban sosial, melainkan juga menaruh loyalitas kepadanya dan secara aktif menunjang serta membenarkan ketertiban yang berlaku. Singkatnya anak mengidentifikasikan diri dengan kelompok sosialnya beserta norma-normanya. Tingkat ke-2 ini mencakup juga 2 tahap.
Tahap 3: Penyesuaian dengan kelompok atau orientasi menjadi “anak manis”.
      Anak cenderung mengarahkan diri kepada keinginan serta harapan dari para anggota keluarga atau kelompok lain (sekolah di disi tentu penting). Perilaku yang baik adalah perilaku yang menyenangkan dan membantu orang lain serta disetujui oleh mereka. Ia ingin bertingkah laku secara “wajar”, artinya, menurut norma-norma yang berlaku.
Tahap 4: Orientasi hukum dan ketertiban (law and order).
Tekanan diberikan pada aturan-aturan tetap, otoritas dan pertahanan ketertiban sosial. Perilaku yang baik adalah melakukan kewajibannya, menghormati otoritas dan mempertahankan ketertiban sosial yang berlaku demi ketertiban itu sendiri. Orang yang melanggar aturan-aturan tradisional atau menyimpang dari ketertiban sosial jelas bermasalah.
c.    Tingkat Pascakonvensional
Oleh Kohlberg tingkat ke-3 ini disebut juga “tingkat otonom” atau “tingkat berprinsip” (principled level).
Pada tingkat ke-3 ini hidup moral dipandang sebagai penerimaan tanggung jawab pribadi atas dasar prinsip-prinsip yang dianut dalam batin.
Tahap 5: Orientasi kontrak-sosial legalistis.
Di sini disadari relativisme nilai-nilai dan pendapat-pendapat pribadi dan kebutuhan akan usaha-usaha untuk mencapai konsensus.
Selain bidang hukum, persetujuan bebas dan perjanjian adalah unsur pengikat bagi kewajiban. Suatu janji harus ditepati juga kalau berkembang menjadi merugikan, karena berasal dari persetujuan bebas.
Tahap 6: Orientasi prinsip etika yang universal.
Disini orang mengatur tingkah laku dan penilaian moralnya berdasarkan hati nurani pribadi. Yang mencolok adalah bahwa prinsip-prinsip etis dan hati nurani berlaku secara universal. Pada dasarnya prinsip-prinsip ini menyangkut keadilan, kesediaan membantu satu sama lain, persamaan hak manusia dan hormat untuk martabat manusia sebagai pribadi.
3.    Beberapa ciri khas perkembangan Moral

TINGKAT
PERTUMBUHAN    TAHAP
PERTUMBUHAN    PERASAAN      
TINGKAT PRAMORAL
0-6 Tahun    Tahap 0
Perbedaan antara baik dan buruk belum didasarkan atas kewibawaan atau norma-norma.          
TINGKAT PRAKONVESIONAL
Perhatian khusus untuk akibat perbuatan: hukuman, ganjaran; motif-motif lahiriah dan partikular    TAHAP 1
Anak berpegang pada kepatuhan dan hukuman. Takut untuk kekuasaan dan berusaha menghindarkan hukuman.
TAHAP 2
Anak mendasarkan diri atas egonisme naif yang kadang-kadang ditandai relasi timbal-balik: do utdes    Takut untuk akibat-akibat negatif dari perbuatan      
TINGKAT KONVESIONAL
Perhatian juga untuk maksud perbuatan: memnuhi harapan, mempertahankan ketertiban    TAHAP 3
Orang berpegang pada keinginan dan persetujuan dari orang lain.
TAHAP 4
Orang berpegang pada ketertiban moral dengan aturannya sendiri    Rasa bersalah terhadap orang lain bila tidak mengikuti tuntutan-tuntutan lahiriah.      
TINGKAT PASCAKONVESIONAL atau TINGKAT BERPRINSIP
Hidup moral adalah tanggung jawab pribadi atas dasar prinsip-prinsip batin: maksud dan akibat-akibat tidak diabaikan – motif-motif batin dan universal    TAHAP 5
Orang berpegang pada persetujuan demokratis, kontrak sosial, sensus bebas
TAHAP 6
Orang berpegang pada hati nurani pribadi, yang ditandai oleh keniscayaan dan universalitas    Penyesuaian atau penghukuman diri karena tidak mengikuti pengertian  moralnya sendiri   

4.    Shame Culture dan Guilt Culture
Dalam antropologi budaya pernah dibedakan antara 2 macam kebudayaan:
-    Shame Culture
Adalah kebudayaan di mana pengertian-pengertian seperti “hormat”,”reputasi”,”nama baik”,”gengsi”,”sangat ditekankan.
Shame culture seluruhnya ditandai oleh rasa malu dan di situ tidak dikenal rasa bersalah. Sedangkan Guilt Culture, terdapat rasa bersalah.
Bukan perbuatan jahat itu sendiri dianggap penting; yang penting ialah bahwa perbuatan jahat tidak akan diketahui. Bila perbuatan jahat toh sampai diketahui, ya, pelakunya menjadi “malu”. Sudah jelas bahwa dalam shame culture tidak ada hati nurani.
Sebaliknya, guilt culture adalah kebudayaan di mana pengertian-pengertian seperti “dosa” (sin) “kebersalahan” (guilt), dsb sangat dipentingkan. Sekalipun suatu kejahatan tidak akan pernah diketahui oleh orang lain, namun si pelaku merasa bersalah juga. Ia menyesal dan merasa kurang tenang karena perbuatan itu sendiri, bukan karena dicela atau dikutuk orang lain, jadi bukan karena tanggapan pihak luar. Dalam guilt culture, sanksinya tidak datang dari luar, melainkan dari dalam: dari batin orang bersangkutan. Dapat dimengerti bahwa dalam guilt culture semacam itu hati nurani memegang peranan sangat penting.
Para ahli yang mengemukakan perbedaan ini berpendapat bahwa kebanyakan kebudayaan adalah shame culture, sedangkan guilt culture hanya sedikit. Menurut hemat mereka, kebanyakan kebudayaan yang disebut “primitif” (seperti) suku-suku Indian di Amerika) dan hampir semua kebudayaan asia adalah shame culture. Sedangkan kebudayaan Barat di Eropa dan Amerika adalah guilt culture. Mereka menjelaskan lagi bahwa shame culture bersifat statis, ketinggalan di bidang ekonomi, tidak memiliki norma-norma moral yang absolut, dan ditandai oleh “psikologi massa’. Sebaliknya, guilt culture-khusunya bilamana rasa bersalah dihayati secara individual – sanggup untuk mengadakan perubahan progresif (termasuk fenomena seperti industrialisasi), memiliki norma-norma moral yang absolut, dan memperhatikan kesejahteraan serta martabat individu.
Kesimpulan antropologi budaya itu mempunyai relevansi juga, karena hal itu menunjukkan bahwa hati nurani memainkan peranan dalam hampir semua kebudayaan. Dan dalam hubungan ini bisa diakui juga bahwa hati nurani memainkan peranan lebih besar dalam satu kebudayaan daripada dalam kebudayaan lain.















Pertemuan 8

Memahami nilai dan norma kehidupan manusia dalam nilai moral, Martabat manusia, & norma moral.

1.    Nilai pada Umumnya
Tidak mudah untuk menjelaskan apa itu suatu nilai. Setidak-tidaknya dapat dikatakan bahwa nilai merupakan sesuatu yang menarik bagi kita, sesuatu yang kita cari, sesuatu yang menyenangkan, sesuatu yang disukai dan diinginkan, singkatnya, sesuatu yang baik.
Salah satu yang sering digunakan untuk menjelaskan apa itu nilai adalah memperbandingkan dengan fakta.
Fakta ditemui dalam konteks deskripsi: semua unsurnya dapat dilukiskan satu demi satu dan uraian itu pada prinsipnya dapat diterima oleh semua orang. Nilai berperan dalam suasana apresiasi atau penilaian dan akibatnya sering akan dinilai secara berbeda oleh pelbagai orang. Perbedaan antara fakta dan nilai ini kiranya dapat diilustrasikan dengan contoh berikut ini.
Kita andaikan saja bahwa pada tahun sekian, tanggal sekian, di tempat tertentu ada gunung berapi meletus. Hal itu merupakan suatu fakta yang dapat dilukiskan secara obyektif. Kita bisa mengukur tingginya awan panas yang keluar dari kawah, kita bisa menentukan kekuatan gempa bumi yang menyertai letusan itu, kita bisa memastikan letusan-letusan sebelumnya beserta jangka waktu di antaranya, dan seterusnya. Tapi serentak juga letusan gunung itu bisa dilihat sebagai nilai atau justru disesalkan sebagai non-nilai, pokoknya, bisa menjadi obyek penilaian. Bagi wartawan foto yang hadir di tempat, letusan gunung itu merupakan kesempatan emas (nilai) untuk mengabadikan kejadian langka yang jarang dapat disaksikan. Untuk petani di sekitarnya debu panas yang dimuntahkan gunung bisa mengancam hasil pertanian yang sudah hampir panen (non-nilai), tapi dalam jangka waktu panjang tanah bisa bertambah subur akibat kejadian itu (nilai). Tim pencinta alam yang datang dari jauh dengan maksud hari itu mendaki gunung setempat kecewa karena terpaksa harus membatalkan rencana mereka (non-nilai), sedangkan Profesor geologi yang bersama rombongan mahasiswa kebetulan meninjau daerah itu senang sekali karena dengan mendadak memperoleh obyek penelitian yang tidak disangka-sangka sebelumnya (nilai). – Contoh diatas cukup jelas untuk memperlihatkan perbedaan antara fakta dan nilai.
Nilai selalu berkaitan dengan penilaian seseorang, sedangkan fakta menyangkut ciri-ciri obyektif saja. Perlu dicatat lagi bahwa fakta selalu mendahului nilai. Terlebih dahulu ada fakta yang berlangsung, baru kemudian menjadi mungkin penilaian terhadap fakta itu.
2.    Nilai Moral
Nilai moral tidak terpisah dari nilai-nilai jenis lainnya. Setiap nilai dapat memperoleh suatu “bobot moral”, bila diikutsertakan dalam tingkah laku moral. Kejujuran, misalnya, merupakan suatu nilai moral, tapi kejujuran itu sendiri “kosong”, bila tidak diterapkan pada nilai lain, seperti umpamanya nilai ekonomis. Kesetiaan merupakan suatu nilai moral yang lain, tapi harus diterapkan pada nilai manusiawi lebih umum, misalnya, cinta antara suami-istri.
Nilai moral mempunyai ciri-ciri berikut ini:
a.    Berkaitan dengan tanggung jawab kita
Suatu nilai moral hanya bisa diwujudkan dalam perbuatan-perbuatan yang sepenuhnya menjadi tanggung jawab orang bersangkutan. Manusia sendiri membuat tingkah lakunya menjadi baik atau buruk dari sudut moral. Kalau seorang pengarang umpanya dipaksakan untuk menulis buku, maka bisa saja buku itu mempunyai nilai intelektual yang tinggi.
b.    Berkaitan dengan hati nurani
Tapi pada nilai-nilai moral tuntutan ini lebih mendesak dan lebih serius. Mewujudkan nilai-nilai moral merupakan “imbauan” dari hati nurani. Salah satu ciri khas nilai moral adalah bahwa hanya nilai ini menimbulkan “suara” dari hati nurani yang menuduh kita bila meremehkan atau menentang nilai-nilai moral dan memuji kita bila mewujudkan nilai-nilai moral.

c.    Mewajibkan
Nilai-nilai moral mewajibkan kita secara absolut dan dengan tidak bisa ditawar-tawar. Nilai-nilai lain sepatutnya diwujudkan atau seyogyanya diakui. Nilai estetis, umpamanya. Orang yang berpendidikan dan berbudaya akan mengakui serta menikmati nilai estetis yang terwujud dalam sebuah lukisan yang bermutu tinggi.
Di sini kita bisa memanfaatkan pembedaan terkenal yang dikemukakan filsuf Jerman, Immanuel Kant (1724-1804) antara imperaktif kategoris. Dalam nilai moral terkandung suatu imperatif (perintah) kategoris, sedangkan nilai-nilai lain hanya berkaitan dengan imperaktif hipotesis artinya, kalau kita ingin merealisasikan nilai-nilai lain, kita harus menempuh jalan tertentu. Kalau pemain bulu tangkis ingin menjadi juara, maka ia harus berlatih keras. Tapi keharusan ini hanya berlaku dengan syarat: kalau ingin menjadi juara...sebaliknya, nilai moral mengandung suatu imperatif kategoris. Artinya, nilai moral itu mewajibkan kita begitu saja, tanpa syarat. Kejujuran memerintahkan kita untuk mengembalikan barang yang dipinjam, suka tidak suka. Barang itu harus dikembalikan begitu saja. Keharusan itu berlaku mutlak, tanpa syarat.
Karena itu kewajiban moral tidak datang dari luar, tidak ditentukan oleh instasi lain, tapi berakar dalam kemanusiaan kita sendiri. Akibatnya, di sini tidak mungkin orang mendapat dispensasi, seperti bisa terjadi dengan kewajiban yang didasarkan pada hukum positif (lembaga sosial, misalnya, mendapat dispensasi membayar pajak). Sebab, orang tidak bisa dilepaskan dari kewajiban yang berkaitan dengan kemanusiaannya sendiri.
d.    Bersifat Formal
Norma yang menyangkut tingkah laku manusia ada juga banyak macam. Di sini kita bisa membedakan norma umum yang menyangkut tingkah laku manusia sebagai keseluruhan dan norma khusus yang hanya menyangkut aspek tertentu dari apa yang dilakukan manusia. Contoh tentang norma khusus adalah norma bahasa. Tata bahasa Indonesia adalah norma yang menentukan entah kita memakai bahasa dengan baik dan benar atau justru tidak. Kalau dalam berbicara atau menulis bahasa kita sesuai dengan tata bahasa itu, maka kita memakai bahasa Indonesia dengan semestinya.
Ada 3 macam norma umum, yaitu norma kesopanan atau etiket, norma hukum, dan norma moral. Etiket misalnya, betul-betul mengandung norma yang mengatakan apa yang harus kita lakukan. Mungkin karena alasan itu etiket sering dicampuradukkan dengan etika. Tapi etiket hanya menjadi tolak ukur untuk menentukan apakah perilaku kita sopan atau tidak dan hal itu belum tentu sama dengan etis atau tidak. Norma hukum juga merupakan norma penting yang menjadi kenyataan dalam setiap masyarakat. Hampir setiap hari kita berjumpa dengan norma hukum ini.
Norma moral menentukan apakah perilaku kita baik atau buruk dari sudut etis. Karena itu norma moral adalah norma tertinggi, yang tidak bisa ditaklukan pada norma lain. Sebaliknya, norma moral menilai norma-norma lain.
Dari norma bahasa, apa yang dikatakannya itu memang sempurna. Tapi dengan mengatakan hal itu pada kenyataannya ia memfitnah orang lain atau ia berbohong. Jadi, dari sudut etis apa yang dikatakannya itu sama sekali tidak baik dan benar! Tidak boleh ia mengatakan hal-hal seperti itu. Di sini norma bahasa pun harus tunduk pada norma moral.
Seperti norma-norma lain juga, norma moral pun bisa dirumuskan dalam bentuk positif atau negatif. Dalam bentuk positif norma moral tampak sebagai perintah yang menyatakan apa yang harus dilakukan, misalnya: kita harus menghormati kehidupan manusia, kita harus mengatakan yang benar. Dalam bentuk negatif norma moral tampak sebagai larangan yang menyatakan apa yang tidak boleh dilakukan, misalnya: jangan membunuh, jangan berbohong. Karena itu kita mulai dengan menyelidiki masalah yang biasanya disebut “relativisme moral”.
1. Relativisme Moral Tidak Tahan Uji
Sebagai contoh dapat di sini 2 antropolog Amerika yang besar, Ruth Benedict (1887-1948) dan M.Herskovits (1895-1963). Bagi mereka ungkapan suatu perbuatan lazim dilakukan dalam suatu kebudayaan “sama artinya dengan” suatu perbuatan adalah baik secara moral.
Pendapat bahwa suatu perbuatan adalah baik hanya karena menjadi kebiasaan di suatu lingkungan budaya, sulit untuk dipertahankan. Tidak bisa diterima bahwa setiap kebudayaan mempunyai kebenaran etis sendiri-sendiri, sehingga apa yang dianggap baik serta terpuji di tempat A bisa dinggap jahat serta tercela di tempat B. Relativisme moral tidak tahan uji, kalau diperiksa secara kritis.
a.    Seandainya relativisme moral benar, maka tidak bisa terjadi bahwa dalam satu kebudayaan mutu etis lebih tinggi atau rendah daripada dalam kebudayaan lain
Contoh lain adalah perbudakan. Berabad-abad lamanya lembaga seperti perbudakan diterima begitu saja dalam banyak masyarakat, tanpa keberatan apa pun. Jangan kita lupa bahwa dalam British Empire (kerajaan Inggris bersama Koloni-koloninya) perbudakan baru dihapus pada tahun 1833.
Dalam Deklarasi Universal tentang Hak-hak Asasi Manusia dikatakan: “Tak seorang pun boleh diperbudak atau diperabdi; perbudakan dan perdagangan budak harus dilarang dalam segala bentuknya” (pasal 4).
b.    Seandainya relativisme moral benar, maka kita hanya perlu memperhatikan kaidah-kaidah moral suatu masyarakat untuk mengukur baik tidaknya perilaku manusia dalam masyarakat itu.
Masih bisa disebut banyak contoh yang sejenis: menguburkan janda hidup-hidup bersama dengan suami yang telah meninggal, menanamkan kepala manusia bila membangun jembatan atau bangunan penting lainnya, mempraktekkan upacara korban manusia, dan sebagainya. Dengan mudah kita menyetujui bahwa kebudayaan di mana hal-hal seperti itu dulu berlangsung, sudah disempurnakan dengan meninggalkan unsur-unsur yang tidak pantas itu.
c.    Seandainya relativisme moral benar, maka tidak mungkin terjadi kemajuan di bidang moral. Kemajuan terjadi, bila cara bertingkah laku yang buruk diganti dengan cara bertingkah laku yang lebih baik.
Contoh, penghapusan sistem penjajahan. Cukup lama dalam sejarah dianggap biasa saja, kalau satu bangsa menjajah bangsa lain. Keyakinan baru ini sudah diungkapkan dalam sebuah dokumen resmi yang diterima oleh anggota PBB, 1960. Perkembangan ini tentu kita nilai sebagai kemajuan moral.
Kalau diselidiki secara kritis, relativisme moral tidak tahan uji. Karena itu hanya tinggal kemungkinan lain bahwa norma moral adalah absolut. Mungkin kritik lebih tajam lagi adalah bahwa relativisme moral meruntuhkan dirinya sendiri.
Dikemukakan oleh Plato, ia menegaskan bahwa relativisme pada dasarnya kontradiktif, karena selalu bisa diterapkan pada pandangan relativisme itu sendiri, sehingga kebenaran relativisme hanya berlaku untuk para pengikutnya dan tidak berlaku umum.
2... Norma Moral Bersifat Obyektif dan Universal
   
a.     Obyektivitas Norma Moral
Nilai selalu berkaitan dengan subyek dalam arti itu suatu nilai bersifat subyektif. Hal itu bisa dikatakan tentang semua nilai, termasuk juga nilai moral.
Ciri subyektif itu telah kita pelajari dengan membandingkan nilai dengan fakta. Perbedaannya adalah bahwa fakta pada dirinya, tanpa kehadiran saksi mata-memang mungkin, sedangkan nilai selalu merupakan nilai bagi seseorang. Bahwa buah durian jatuh dari pohon, merupakan suatu fakta, walaupun tidak ada orang yang menyaksikan kejadian itu. Tapi bahwa buah durian enak untuk dimakan atau laris kalau dijual di pasar, adalah nilai yang berkaitan dengan penilaian seseorang atau kelompok orang. Karena nilai moral menyatakan suatu norma moral, maka dalam dalam norma moral pun ada unsur subyektif. Norma moral mengarahkan diri kepada subyek. Tanpa ada subyek moral, norma moral tidak mempunyai makna apa pun, sama seperti petunjuk jalan tidak mempunyai makna tanpa adanya pemakai jalan.
b.    Universalitas Norma moral
Kalau norma moral bersifat absolut, maka tidak boleh tidak norma itu harus juga universal, artinya, harus berlaku selalu dan di mana-mana. Mustahillah noma moral yang berlaku disatu tempat tapi tidak berlaku ditempat lain.
Bisa saja bahwa satu negara mengenal undang-undang yang melindungi rahasia Bank, sedangkan negara lain tidak punya. Tapi sulit untuk dibayangkan bahwa norma kejujuran berlaku di tempat tertentu saja tapi tidak berlaku ditempat lain.
Dalam bentuk ekstremnya etika situasi ini tidak bisa dipertahankan. Tapi tidak bisa disangkal juga bahwa disini pun terkandung unsur kebenaran. Hal ini kita selidiki dengan beberapa pertimbangan kritis.
·    Membuat eksperimen kedokteran dengan manusia tanpa persetujuan mereka selalu harus ditolak sebagai tidak bermoral. Atau tindakan terornisme seperti meledakkan pesawat terbang, sehingga mengakibatkan korban manusia yang tidak bersalah, tidak pernah dapat dibenarkan. Mungkin mereka memperjuangkan hak-hak teritorial mereka yang sah. Tapi tidak pernah dapat kita setujui tindakan itu sendiri. Tentang kasus-kasus tadi dan banyak lain yang sejenis semua orang akan sepakat bahwa disini berlaku norma-norma yang universal. Norma-norma itu selalu dan dimana-mana sama. Malah harus dikatakan bahwa tidak akan ada etika lagi, kalau tidak ada norma umum. Etika situasi dalam bentuk ekstrem sebenarnya mengandung kontradiksi. Etika justru mengandaikan adanya norma umum.

·    Tapi jika kita menolak etika situasi yang ekstrem, kita harus menolak juga lawannya, yaitu legalisme moral. Dengan legalisme moral dimaksudkan kecenderungan untuk menegakkan norma moral secara buta, tanpa memperhatikan sedikit pun situasi yang berbeda-beda. Legalisme moral menegakkan hukum moral demi hukum moral saja.

Misalnya kejujuran merupakan suatu norma moral yang umum. Mencuri barang milik orang lain tidak pernah dapat dibenarkan. Tapi dalam kasus seorang miskin mencuri ayam tentu pilihan etis kita harus lain daripada bila koruptor kelas kakap menyelewengkan milyaran rupiah. Kita harus mengakui kepada pengikut etika situasi bahwa dalam menerapkan norma moral kita harus mempertimbangkan keadaan konkret. Tidak pernah norma moral akan bisa diterapkan secara otomatis melalui semacam program komputer. Selalu harus dipertimbangkan juga keadaan yang berubah-ubah.

·    Dalam penilaian etis situasi selalu harus turut dipertimbangkan, namun kebanyakan masalah di bidang etika tidak disebabkan karena terjadi konflik antara norma dan situasi, dalam arti bahwa situasi merongrong atau memperlemah norma. Umumnya norma itu sendiri tidak dipertayakan, tapi menjadi masalah bagaimana norma itu harus diterapkan. Hal itu terutama bisa tampak 2 cara.

1.    Kadang-kadang norma memang jelas, tapi menjadi pertanyaan apakah suatu kasus konkret terkena oleh norma tersebut atau tidak. Misalnya, norma moral adalah “jangan berbohong”. Tapi soalnya ialah apakah yang dilakukan dengan suatu perbuatan tertentu terhitung berbohong atau tidak. Mengenai iklan bisnis yang dengan cara berlebih-lebihan mempromosiksn produknya (seperti: “produk kami nomor 1 di dunia”) bisa ditanyakan: apakah itu berbohong atau hanya gertak sambal yang biasa di dunia bisnis?
Norma lain “jangan mencuri”. Tapi bisa ditanyakan: jika saya berjalan di luar kampung dan untuk menghilangkan rasa haus saya memetik buah kelapa dari pohon milik orang lain, apakah itu mencuri? Walaupun dalam kasus-kasus seperti itu norma sendiri jelas, namum kita ragu-ragu apakah norma disitu pantas diterapkan atau tidak.

2.    bisa juga masalahnya mengambil bentuk “dilema moral”, artinya. Konflik antara 2 norma.

Contohnya, “orang tidak boleh mencuri”. Norma ini kita setujui tanpa kesulitan. Tapi bayangkan kasus berikut ini: seorang bapak keluarga mengalami kesulitan besar untuk memperoleh obat bagi anaknya yang sakit berat. Kalau dalam waktu singkat anak itu tidak minum obat tertentu, ia akan mati. Tapi obat itu mahal dan uang tidak ada. Sudah diusahakan segala cara untuk mencari bantuan, tapi tidak berhasil. Akhirnya bapak itu menempuh jalan pintas dengan mencuri uang. Masalah etis disini tidak menyangkut konflik antara norma dan situasi. Masalahnya adalah konflik antara 2 norma yang dua-duanya cukup jelas: di satu pihak bapak ini harus menjamin kesehatan anaknya, itulah kewajibannya sebagai ayah; dipihak lain ia tidak boleh mencuri. Ada 2 norma ini tidak bisa dipatuhi sekaligus. Dalam kasus seperti itu pemikiran etis harus menentukan yang mana norma yang paling penting. Hanya norma terpenting itu harus dipenuhi, sedangkan norma lain terpaksa ditinggalkan.

Kita tidak mengatakan: dalam kebudayaan kita hal seperti itu tidak bisa diterima, tapi terserah kalau kebudayaan lain mempunyai pandangan lain. Sebaliknya, kita yakin bahwa disini dilanggar suatu norma moral yang berlaku umum. Menerapkan norma itu tidak merupakan urusan pribadi atau lokal saja. Di bidang etis tidak berlaku prinsip “lain ladang lain belalang”. Norma moral mengikat semua manusia.

3.    Menguji Norma Moral
Kita mendiskusikan panjang lebar tentang suatu fakta, tapi kita tidak akan pernah mencapai kebenaran, kalau tidak menghadapi fakta itu sendiri. Benar tidaknya sebuah ungkapan tentang fakta hanya bisa dipastikan dengan memandang kenyataan. Misalnya, kebenaran ungkapan seperti “sepeda motor ini mencapai kecepatan maksimal 80 km per jam” hanya bisa dipastikan dengan percobaan. Supaya kebenarannya pasti, perlu kita turun ke jalan dengan sepeda motor itu. Kita harus mencoba, dan kalau ternyata kecepatan maksimalnya tidak sampai 80 km atau melebihi 80 km, maka ungkapan tadi tidak benar. Hanya kalau percobaan menunjukkan kecepatan maksimal 80 km, kita tahu dengan pasti bahwa ungkapan itu benar.
Biarpun dalam suatu masyarakat korupsi sudah merajalela di mana-mana, namun kenyataan ini tidak mengatakan apa-apa tentang moralitas perbuatan itu. Karena itu kita sempat heran, bila merefleksikan sedikit tentang kata “normal”. Tidak bisa diragukan bahwa kata itu pun berasal dari kata Latin “norma” (tolok ukur). “Normal” sebenarnya berarti: sesuai dengan norma. Tapi artinya sudah berkembang menjadi “biasa”, “lazim terjadi” dan dengan demikian sudah terlepas dari asal-usulnya. Korupsi atau tindakan tak terpuji lainnya tidak menjadi baik secara moral karena sudah “normal”, karena sudah lazim terjadi dimana-mana.
Norma moral adalah benar jika bisa digeneralisasikan dan tidak benar jika tidak bisa digeneralisasikan. Menggeneralisasikan norma berarti memperlihatkan bahwa norma itu berlaku untuk semua orang. Bila bisa ditunjukkan bahwa suatu norma bersifat umum, maka norma itu sah sebagai norma moral.
Lain halnya dengan orang berpegang pada prinsip seperti “barang yang dipinjam harus dikembalikan”. Prinsip ini merupakan norma yang bisa digeneralisasikan. Dalam tingkah laku saya harus saya pakai norma ini, sebab saya juga mau bahwa orang lain memakai norma yang sama terhadap saya.
4.    Norma dasar Terpenting Martabat Manusia
Tapi yang mempunyai martabat adalah unik dan tidak pernah dapat disetarafkan atau diganti dengan sesuatu yang lain. Untuk yang mempunyai martabat tidak ada ekuivalen. Apa yang mempunyai harga mempunyai nilai relatif, sedangkan apa yang mempunyai martabat mempunyai nilai intrinsik dan karena itu tidak bisa diganti dengan sesuatu yang lain.
Kewajiban untuk menghormati martabat manusia, oleh Kant dirumuskan sebagai perintah dalam bentuk berikut ini: “Hendaklah memperlakukan manusia selalu juga sebagai tujuan pada dirinya dan tidak pernah sebagai sarana belaka”. Kalimat itu perlu diperhatikan secara khusus kata “juga” dan “belaka”. Sering kali kita memakai jasa orang lain, artinya, kita menggunakan orang itu sebagai “sarana”. Misalnya, jika saya naik taksi, saya menggunakan sopir taksi itu sebagai sarana untuk mencapai tujuan saya. Demikian juga jika saya menggunakan jasa pemangkas rambut, pembantu rumah tangga, dan setiap orang lain yang bekerja untuk saya. Hal seperti itu tidak dilarang. Sebab, di samping menggunakan jasanya, saya harus menghormati mereka sebagai “pesona”. Tidak pernah boleh saya menggunakan orang lain sebagai sarana belaka. Dalam contoh naik taksi tadi syarat ini dipenuhi, jika saya berlaku sopan terhadap supir dan sebagai imbalan memberikan jumlah uang yang menjadi haknya. Disamping menggunakan jasanya, saya juga menghormatinya sebagai tujuan pada dirinya dan tidak memakainya sebagai sarana belaka. Bagi Kant, martabat manusia menjadi sumber kewajiban baik terhadap diri kita sendiri maupun terhadap orang lain.






PERTEMUAN 9
Menjelaskan arti kebebasan manusia


1.    Pengalaman tentang Kebebasan
Kebebasan merupakan kenyataan yang akrab dengan kita semua. Dalam hidup setiap orang kebebasan adalah suatu unsur hakiki. Kita semua mengalami kebebasan, justru karena kita manusia.
Agustinus mengatakan perbedaan antara pengetahuan yang dirumuskan secara eksplisit dan pengetahuan yang tinggal implisit saja berupa pengalaman. Pengalaman itu mempunyai suatu status tersendiri yang tidak boleh dicampuradukkan dengan pengalaman jenis lain, khususnya pengalaman yang menjadi titik tolak dan fundamen ilmu pengetahuan empiris. Ilmu-ilmu empiris, baik ilmu alam maupun ilmu manusia, mengacu ke pengalaman lahiriah dan justru karena itu mereka bersifat empiris (dalam arti: didasarkan pada fakta-fakta yang tampak bagi semua orang). Kegemaran ilmu-ilmu empiris adalah menimbang, mengukur, memotret, menyusun statistik, dan sebagainya, singkatnya, menentukan fakta-fakta dalam dunia luar. Ilmu pengetahuan bertolak dari pengalaman lahiriah itu dan selalu ia kembali lagi padanya untuk memverifikasi hipotesis-hipotesisnya. Dalam arti ini kebebasan tidak pernah dapat ditentukan.
Menurut Henri Bergson (1859-1941), kebebasan adalah hubungan antara “aku konkret” dan perbuatan yang dilakukannya. Yang dimaksudkan Bergson dengan “fakta” di sini adalah: data langsung dari pengalaman batin.
2.    Beberapa arti kebebasan

a.    Kebebasan Sosial-politik
Subyek kebebasan sosial-politik artinya, yang disebut bebas di sini adalah suatu bangsa atau rakyat. Sedang subyek kebebasan individual adalah manusia perorangan.
Kebebasan sosial-politik bukannya sesuatu yang selalu sudah ada, melainkan sebagian besar merupakan produk perkembangan sejarah atau, lebih tepat lagi, produk perjuangan sepanjang sejarah. Dalam sejarah moderen dapat dibedakan dua bentuk. Bentuk pertama adalah tercapainya kebebasan politik rakyat dengan membatasi kekuasaan absolut para raja. Bentuk kedua terdiri dari kemerdekaan yang dicapai oleh negara-negara muda terhadap negara-negara penjajah.
1.    Kebebasan Rakyat Versus Kekuasaan Absolut
Dua negara yang memakai peranan besar dalam sejarah eropa dan sejarah dunia, telah menjadi pelopor dalam mewujudkan kebebasan sosial-politik menurut bentuknya yang pertama, yaitu Inggris dan Prancis.
Salah satu langkah pertama adalah Magna Charta (1215), piagam yang terpaksa oleh keadaan dikeluarkan raja Jhon untuk menganugerahkan kebebasan-kebebasan tertentu kepada para baron dan uskup Inggris.
Nama ini menunjukkan peristiwa William III serta Mary Stuart naik takhta Inggris, sambil menerima The Bill of Rights. Piagam itu berisikan perumusan hak-hak parlemen terhadap monarki. Pada hakikatnya kejadian itu merupakan kemenangan parlemen atas raja-raja yang autokrat. Dengan demikian untuk pertama kali dalam sejarah terbentuklah demokrasi moderen di mana perwkilan rakyat membatasi dan mengontrol kekuasaan raja.
Pejuang-pejuang revolusi Prancis tidak saja membatasi tapi bahkan menggulingkan kekuasaan para raja Prancis yang mereka beri nama “Rezim Lama”. Semboyan yang mengungkapkan tujuan revolusi ini adalah: “Kebebasan, Persamaan, Persaudaraan. Di sini kata “Kebebasan” jelas dimaksud dalam arti “kebebasan sosial-politik”. Hingga kini semboyan tadi terpampang di atas pintu masuk setiap balai kota Prancis.
Pembahasan singkat mengenai kebebasan sosial-politik menurut bentuk pertama ini dapat diakhiri dengan menambah 2 catatan. Yang pertama, ialah bahwa peruwujudan kebebasan sosial-politik ini tidak terbatas pada kedua negara bersangkutan aja tapi mempunyai relevansi universal. Inggris dan Prancis menjadi perintis di zaman modern dalam mewujudkan demokrasi yang didasarkan atas kebebasan rakyat.
Namun demikian, bila dalam demokrasi modern DPR mengejawantahkan kebebasan rakyat, maka tidak boleh dilupakan bahwa cara pemerintahan ini untuk pertama kali dirintis oleh parlemen Inggris. Dan bila dalam banyak UUD modern – UUD 1945 tidak terkecuali (lihat pasal 1) – ditegaskan bahwa kedaulatan ada ditangan rakyat, pantaslah diakui bahwa gagasan ini untuk pertama kali dalam sejarah dikembangkan di Inggris dan Prancis.
Catatan kedua lebih erat kaitannya dengan etika gagasan yang melatarbelakangi kebebasan sosial-politik dalam bentuk ini pada dasarnya bersifat etis. Perkembangan dari monarki absolut ke demokrasi modern bukan saja merupakan sesuatu kenyataan historis, melainkan juga suatu keharusan etis. Tidak dapat dibenarkan, jika perkembangan itu menempuh lagi arah yang terbalik. Kebebasan rakyat tidak boleh lagi dirampas oleh diktator siapa pun juga. Kedaulatan harus tetap di tangan rakyat dan tidak boleh berada pada instansi lain. Itulah suatu tuntutan etis.
2.    Kemerdekaan versus Kolonialisme
Kebebasan sosial-politik menurut bentuk kedua direalisasikan dalam proses dekolonisasi yang di zaman kita sekarang sudah kira-kira rampung. Kebebasan dalam bentuk ini biasanya kita sebut “kemerdekaan”.
Aspek etis itu dirumuskan dengan tepat dalam kalimat pertama dari pembukaan UUD 1945; “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”. Pada tahun 1960 negara-negara anggota PBB menyepakati sebuah deklarasi yang pada pokoknya mempunyai isi yang sama: hak semua negara dan bangsa yang dijajah untuk membentuk nasibnya sendiri.
Kita mulai dengan menganalisis beberapa arti kebebasan yang dapat dibedakan disini.
1.    Kesewenang-wenangan
Kadang-kadang kebebasan dimengerti sebagai kesewenang-wenangan. Kalau begitu, orang disebut bebas bila ia dapat berbuat atau tidak berbuat sesuka hatinya. Kebebasan dalam arti ini dilihat sebagai izin atau kesempatan untuk berbuat semau gue.
·    Dengan demikian seorang pelajar adalah bebas, kalau tidak perlu masuk sekolah, karena hari itu kebetulan libur atau karena ia mengambil keputusan untuk bolos. Ia bebas dalam arti: lepas dari kewajiban belajar dan dapat mengisi waktu sekehendak hatinya.
·    Seorang manajer dapat mengatakan bahwa jam sekian ia masih bebas, maksudnya, tidak terikat oleh janji atau komitmen lain.

·    Kata “bebas” dipakai juga dalam arti ini, bila orang berbicara tentang pergaulan bebas, cinta bebas, atau seks bebas. “Bebas” di sini berarti terlepas dari segala peraturan atau kaidah. Kebebasan dalam konteks ini sama dengan suasana permisif.

·    Pengertian kebebasan ini melatarbelakangi juga liberalisme abad ke-19, bila mereka mendewa-dewakan. Menurut mereka, bisnis adalah usaha bebas, jika tidak ada regulasi, peraturan, atau campur tangan dari luar, khususnya pemerintah.
Dengan demikian penyelidiki singkat ini sudah membawa kesimpulan yang sangat berharga: kebebasan tidak bertentangan dengan keterikatan. Sebaliknya, kebebasan yang sejati mengandaikan keterikatan oleh norma-norma. Bila tingkah laku manusia tidak secara otomatis ditentukan oleh insting (seperti halnya dengan binatang) tapi ia sendiri harus mengatur kecenderungan-kecenderungan alamiahnya, maka itu berarti ia membutuhkan norma-norma. Dalam hal ini tingkah laku bebas dapat dibandingkan dengan penggunaan bahasa.
2.    Kebebasan Fisik
Arti “kebebasan” berikut adalah kebebasan fisik. Di sini “bebas” berarti tiada paksaan atau rintangan dari luar. Orang menganggap dirinya bebas dalam arti ini, jika bisa bergerak ke mana saja ia mau tanpa hambatan apa pun. Orang yang diborgol atau dipasung tentu tidak bebas. Selama meringkuk di penjara, seorang narapidana tidak bebas, tetapi begitu masa tahanannya lewat ia kembali menghirup udara kebebasan.
3.    Kebebasan Yuridis
Sebenarnya kebebasan yuridis ini merupakan sebuah aspek dari hak-hak manusia. Dalam Deklarasi Universal tentang Hak-hak Asasi Mahasiswa (1948) dan juga dalam dokumen-dokumen lain tentang hak-hak manusia berulang kali dibicarakan tentang “hak-hak dan kebebasan-kebebasan”.
Sebuah contoh dapat menjelaskan hal ini. Lingkup kebebasan seorang yang menyandang cacat tunanetra tentu kurang luas, dibandingkan dengan kita yang dapat melihat. Suatu dimensi seluruhnya tidak berperanan sama sekali dalam hidupnya dan akibatnya di bidang itu ia tidak dapat mewujudkan kebebasannya, yaitu dimensi visual. Seni lukis, film, televisi, fotografi, warna, pemandangan alam, ekspresi pada wajah: seluruh “dunia visual” itu bagi dia tidak ada. Orang tunanetra tidak bebas untuk menjadi pelukis atau sutradara, umpamanya. Dengan contoh ini kita telah memandang berkurangnya lingkup kebebasan yang tidak dikuasi oleh manusia. Bahwa seseorang dilahirkan buta atau dapat melihat, merupakan nasib yang harus diterima begitu saja. Tetapi tidak jarang tergantung dari manusia sendirilah apakah dia mau menjamin dan mengadakan lingkup kebebasan yang sama bagi semua orang. Bilamana, misalnya, sebagian masyarakat hidup di bawah garis kemiskinan, sedangkan sebagian lain hidup dalam kemewahan, maka secara konkret itu berarti bahwa bagian pertama itu beberapa syarat tidak dipenuhi untuk menjalankan kebebasannya. Mereka tidak memperoleh makanan yang bergizi, tidak mempunyai pekerjaan, tidak kebagian pelayanan kesehatan dan pendidikan. Bagi mereka, di semua bidang itu “kebebasan” merupakan sebuah kata yang hampa belaka. Banyak syarat yang perlu dipenuhi supaya dapat hidup dengan layak, bagi mereka tidak terpenuhi.
Perlu dibedakan 2 macam kebebasan yuridis, tergantung pada dasarnya. Dasarnya bisa hukum kodrat atau hukum positif.
a.    Kebebasan-kebebasan yang didasarkan pada hukum kodrat.
Secara konkret kebebasan-kebebasan yang didasarkan pada hukum kodrat ini sama dengan hak-hak asasi manusia seperti dirumuskan dalam Deklarasi Universal tentang Hak-hak Asasi Manusia. Manusia bebas untuk bekerja, memilih profesinya, mempunyai milik sendiri, menikah, mendapat pendidikan, memperoleh pelayanan kesehatan, dan banyak hal lain lagi. Dalam arti ini pula terdapat kebebasan hati nurani, kebebasan beragaman, kebebasan berpikir, kebebasan mengemukakan pendapat, kebebasan berkumpul, dan 

b.    Kebebasan-kebebasan yang didasarkan pada hukum positif diciptakan oleh negara. Kebebasan-kebebasan ini merupakan buah hasil perundang-undangan. Tapi pada kenyataannya kebebasan-kebebasan yang berdasarkan hukum positif ini hanya merupakan penjabaran dan perincian kebebasan yang didasarkan pada hukum kodrat.
Misalnya, peraturan-peraturan lalu lintas diadakan untuk menjamin pemakaian jalan yang bebas. Tetapi justru untuk mencapai tujuan itu diperlukan bahwa kebebasan menurut suatu aspek tertentu dibatasi. Orang tidak bebas lagi untuk berjalan di mana pun orang mau. Mengebut di jalan raya tidak dibenarkan. Jika mau berbelok ke kiri atau kanan harus diperhatikan dulu rambu-rambu. Dan banyak aturan lain lagi. Namun pembatasan kebebasan ini perlu, supaya jalan dapat dipakai sebaik mungkin oleh semua orang.
Contoh lain tentang kebebasan ini adalah kebebasan untuk ikut serta dalam pemilihan umum dan kebebasan mencalonkan diri untuk dipilih sebagai wakil rakyat. Dalam pelbagai negara hal ini juga diatur dengan cara yang berbeda-beda. Di bidang sosial, ekonomis dan politik banyak peraturan bermaksud menciptakan kebebasan-kebebasan sejenis.

4.    Kebebasan Psikologis
Dengan kebebasan psikologis kita maksudkan kemampuan yang dimiliki manusia untuk mengembangkan serta mengarahkan hidupnya. Kemampuan ini menyangkut kehendak, bahkan merupakan ciri khasnya. Karena itu suatu nama lain untuk kebebasan psikologis adalah “kehendak bebas”. Kebebasan ini berkaitan erat dengan kenyataan bahwa manusia adalah makhluk berasio. Ia bisa berpikir sebelum bertindak. Dalam tingkah lakunya ia tidak membabi-buta, melainkan berkelakuan dengan sadar dan pertimbangan sebelumnya. Jika manusia bertindak bebas, itu berarti ia tahu apa yang diperbuatnya dan apa sebabnya diperbuatnya. Berkat kebebasan ini ia dapat memberikan suatu makna kepada perbuatannya.
Misalnya, sebagai orang muda saya bebas untuk memilih suatu profesi yang cocok untuk saya. Saya bisa menjadi dokter dan dengan demikian mengabdi kepada sesama yang menderita. Karena bakat khusus saya, saya bisa menjadi seniman dan ikut meningkatkan keindahan di dunia ini. Saya bisa menjadi insinyur dan memberikan tenaga kepada pembangunan industri di tanah air. Semua kemungkinan ini terbentang di depan saya, setelah tamat SMA dengan nilai bagus dan mempunyai orangtua yang sanggup membiayai studi lanjut. Tapi kebebasan saya tidak bertambah besar dengan menangguhkan setiap pilihan.
Sudah pernah ia pilih masuk fakultas ekonomi dan setiap hari diisi dengan melaksanakan pilihan itu. Tanpa berpikir lebih jauh ia pergi ke kuliah dan menjalankan tugas-tugas lain. Bisa sampai menjadi rutin. Tapi semua kegiatan itu bersumber pada kebebasan mahasiswa itu dalam mewujudkan proyek hidupnya, sekalipun tidak dirasakan sejelas seperti pada saat pemilihan.
Kebebasan psiklogis adalah autodeterminasi: “penentuan aku oleh aku”’ sebagaimana dikatakan filsuf Prancis Henri Bergson. Di sini “aku” adalah subyek dan obyek sekaligus. Yang menentukan adalah saya dan yang ditentukan adalah saya juga.
5.    Kebebasan Moral
Kebebasan moral berkaitan erat dengan kebebasan psikologis. Contoh: seorang sandera dipaksa oleh teroris untuk menandatangani sepucuk surat pernyataan. Dari sudut psikologis, perbuatan itu bebas. Sandera itu memilih untuk membubuhkan tanda tangan pada surat pernyataan. Perbuatan itu keluar dari kehendaknya: ia menentukan dirinya. Lain halnya, seandainya teroris memegang tangannya dan memaksa sidik jari pada surat itu. Lain halnya pula, seandainya ia membuatnya di bawah pengaruh hipnotis. Sebab, kalau begitu, bukan ia sendiri membuatnya dalam arti yang sebenarnya. Dalam contoh tadi orang sendiri membuatnya, namun ia membuatnya secara terpaksa. Bukan dalam arti paksaan fisik, melainkan dalam arti paksaan moral. Ia menghadapi dilema: menandatangani atau dibunuh. Dan dari dua hal yang jelek ia memilih hal yang kurang jelek: lebih baik menandatangani dan bisa hidup daripada dibunuh. Dari sudut psikologis, kami katakan tadi, perbuatan itu bebas, tapi dari sudut moral tidak: karena ia melakukannya secara terpaksa. Sebenarnya ia tidak mau melakukannya, tapi ia tidak ada pilihan lain, kecuali menghadap maut. Perbuatan itu dilakukan dengan bebas (dalam arti kebebasan psikologis), tapi tidak dengan suka rela (tidak ada kebebasan moral). Dan inilah kiranya cara paling jelas untuk membedakan kebebasan psikologis dengan kebebasan moral: kebebasan psikologis berarti bebas begitu saja, sedangkan kebebasan moral berarti suka rela.
6.    Kebebasan Eksistensial
Kita dapat menamakannya kebebasan eksistensial. Maksudnya, kebebasan menyeluruh yang menyangkut seluruh pribadi manusia dan tidak terbatas pada salah satu aspek saja. Kebebasan ini mencakup seluruh eksistensi manusia. Kebebasan eksistensial adalah bentuk kebebasan tertinggi. Orang yang bebas secara eksistensial seakan-akan “memiliki dirinya sendiri”. Ia mencapai taraf otonomi, kedewasaan, otentisitas, kematangan rohani. Orang yang sungguh-sungguh bebas dapat mewujudkan eksistensinya secara kreatif.
Contoh: seorang seniman dapat dianggap bebas dalam arti ini, bila ia menciptakan lukisan, patung, atau barang seni lain secara otonom. Sesudah perjuangan pajang akhirnya ia mencapai taraf kemandirian. Biarpun ia sangat berutang budi kepada para guru dari masa mudanya, namun ia tidak lagi tergantung dari mereka. Ia mengagumi seniman-seniman besar di masa lampau dan ia menganggap mereka sebagai contoh teladan, tapi dalam pekerjaannya ia tidak menjiplak karya mereka. Pendeknya, ia menjadi seorang seniman yang kreatif dan bebas.
Contoh lain adalah cendekiawan yang telah mencapai taraf berpikir sendiri. Ia tidak membeo saja. Ia tidak mengumandangkan saja apa yang sudah pernah dikatakan oleh orang lain. Ia mempunyai pendapat sendiri yang didasarkan pada pengertian sendiri. Ia tahu betul apa yang dipikirkan dan ditulis di bidang keahliannya, tapi ia tidak terikat dengannya. Ia hanya terikat pada kebenaran dan tidak akan mundur karena alasan apa pun dalam mencari kebenaran. Ia sungguh-sungguh berpikir bebas dan mandiri.
Kebebasan eksistensial ini jarang sekali direalisasikan dengan sempurna. Kebebasan ini terutama merupakan suatu ideal atau cita-cita yang bisa memberi arah dan makna kepada kehidupan manusia.
3.    Beberapa masalah Mengenai Kebebasan

a.    Kebebasan Negatif dan Kebebasan Positif
Aspek negatif (bebas dari...) paling mencolok mata. Secara spontan kebebasan dimengerti sebagai “terlepas dari tekanan atau paksaan”. Hal itu mudah dilihat pada arti-arti kebebasan yang telah dibahas di atas.
·    Yang bebas adalah orang yang terlepas dari paksaan fisik (kebebasan fisik). Orang yang terbelenggu atau orang yang terkena tahanan rumah tentu tidak bebas.

·    Yang bebas juga adalah orang yang tidak dirampas hak-haknya (kebebasan yuridis). Orang yang hidup dalam negara diktatur dan tidak diperbolehkan mengemukakan pendapatnya atau mengadakan rapat dengan teman-temannya, tidak mempunyai kebebasan-kebebasan yang seharusnya dinikmatinya.

·    Yang bebas juga adalah orang yang terlepas dari tekanan batin atau psikis (kebebasan psikologis). Orang yang menderita kelainan jiwa, seperti misalnya kleptomani, jelas tidak bebas. Dipandang dari luar, ia sama seperti orang lain (pencuri sungguhan), namun ia tidak bisa menentukan diri dan karena itu perbuatannya harus dianggap tidak bebas.

·    Yang bebas pula adalah orang yang terlepas dari paksaan moral (kebebasan moral). Bila ia ditodong dengan senjata tajam, ia tentu tidak sepenuhnya bebas dalam menyerahkan harta bendanya. Ia memang menentukan diri, menyerahkan kekayaannya memang merupakan keputusannya, tapi ia melakukannya terpaksa. Begitu paksaan moral itu hilang (dengan kedatangan teman yang melumpuhkan si penjahat), ia akan berbuat lain.

·    Akhirnya, yang bebas adalah orang yang terlepas dari inotentisitas dan keterasingan (kebebasan eksistensial). Kehidupan orang itu tidak dijalankan oleh orang atau instansi lain.
Jauh lebih sulit ialah menjelaskan kebebasan secara positif. “Kebebasan untuk ...” harus diisi oleh manusia sendiri. Kemungkinan di sini sama luasnya dengan kreativitas manusia. Bisa ditambah lagi, kesulitan ini tidak terbatas pada kebebasan. Individual saja. Kebebasan sosial-politik pun sukar untuk diterangkan secara positif. Sebagai “bebas dari ...” kemerdekaan berartibberarti    
Berarti “terlepas dari kekuasaan kolonial” dan kebebasan rakyat berarti “terlepas dari kekuasaan absolut”. Tapi jauh lebih sulit untuk menerangkan apa artinya kemerdekaan atau kebebasan rakyat sebagai “bebas untuk ...”. suatu bangsa memerlukan kurun waktu sejarah yang panjang untuk mengisi kebebasan itu.
Sartre mengatakan: kita dihukum untuk hidup bebas atau kita ditakdirkan untuk bertindak bebas. Ungkapan Sartre ini tampaknya agak paradoksal, karena hukuman atau takdir justru bertentangan dengan kebebasan.
Dalam optimismenya tentang kebebasan, sartre berpendapat juga bahwa tidak ada batas lain untuk kebebasan daripada batas-batas yang ditentukan oleh manusia sendiri. Pendapat ini lebih sulit untuk diterima.
Banyak filsuf menilai pendapat Sartre itu terlalu ekstrem. Pandangan spontan pula tidak akan keberatan untuk mengakui batas-batas bagi kebebasan. Di sini kita memandang batas-batas yang paling penting:
1.    Faktor-faktor dari dalam
Kebebasan pertama-tama dibatasi oleh faktor-faktor dari dalam, baik fisik maupun psikis. Kita berbadan tinggi atau pendek, kuat atau lemah, sehat atau sakit-sakitan. Saya ini laki-laki atau perempuan. Dari segi umur, saya ini muda, setengah baya, atau tua. Pendeknya selalu terdapat suatu struktur badani tertentu yang sangat membatasi kemungkinan-kemungkinan seseorang.
Terdapat juga suatu struktur psikis tertentu. Seorang adalah inteligen atau kurang inteligen. Kebanyakan orang tidak bebas untuk menjadi profesor di universitas. Setiap orang mempunyai watak tertentu. Ada orang yang selalu riang gembira, orang lain mudah terseret oleh kemarahan. Intensitas hawa nafsu pun tidak sama pada semua orang. Dan banyak hal lain lagi.
2.    Faktor Lingkungan
Kebebasan dibatasi juga oleh lingkungan, baik alamiah maupun sosial. Indonesia tidak bebas menjadi pusat olah raga ski, karena hawanya tropis.
Orang yang berasal dari lingkungan miskin tidak bebas masuk perguruan tinggi. Kalau kadang-kadang kebebasan seperti itu toh dicanangkan, maka hal itu berlaku teroris saja, karena yang ingin masuk perguruan tinggi harus memenuhi syarat yang tidak bisa dipenuhi oleh golongan kurang mampu.
3.    Kebebasan Orang Lain
Kebebasan saya dibatasi oleh kebebasan orang lain. Semua gerak-gerik saya dibatasi oleh kebebasan teman-teman manusia. Inilah pembatasan dengan konsekuensi paling besar bagi etika. Dan inilah alasan utama mengapa diperlukan suatu tatanan moral di antara manusia. Kedua pembatasan yang disebut di atas membatasi kehendak di luar kemauannya, tapi di sini hendak harus membatasi dirinya sendiri. Mengakui kebebasan orang lain di sini secara konkret berarti menghormati hak-haknya.
4.    Generasi-generasi mendatang
Kebebasan kita dibatasi juga oleh masa depan umat manusia atau oleh generasi-generasi sesudah kita. Kebebasan kita dalam mengusai dan mengeksploitasi alam dibatasi sampai titik tertentu, sehingga alam bisa menjadi juga dasar hidup bagi generasi mendatang. Kita tidak bebas untuk mempergunakan alam seenaknya, sampai membahayakan masa depan umat manusia.
c...Kebebasan dan Determinisme
“determinisme” dimaksudkan di sini suatu sifat yang menandai alam. Maksudnya, kejadian-kejadian dalam alam berkaitan satu sama lain menurut keterikatan yang tetap, sehingga kejadian satu pasti mengakibatkan kejadian lain. Bila suhu menurun di bawah 0 derajat celcius, pasti air menjadi beku menjadi es. Bila dipanasi sampai 100 derajat celcius, pasti air mendidih. Bila didekatkan dengan api, pasti bensi akan menyala. Keterkaitan ini memperlihatkan skema “kalau A, maka B” (kalau suhu rendah, maka air menjadi es). Ilmu pengetahuan alam hanya mungkin karena determinisme alam ini. Determinisme alam merupakan syarat mutlak supaya bisa dirumuskan hukum-hukum alam.
Hukum-hukum yang dihasilkan oleh ilmu-ilmu manusia dimungkinkan karena 3 alasan:
·    Kebebasan manusia itu terbatas. Ada faktor-faktor dari luar yang membatasi kebebasan (lingkungan, pendidikan) dan faktor-faktor dari lain membatasi dari dalam (bakat, watak, sikap). Ini mengakibatkan bahwa banyak perbuatan manusia tidak bebas atau hanya setengah bebas.
Dengan demikian sosiologi, umpamanya, dapat menunjukkan bahwa sedikit sekali anak dari golongan berpenghasilan rendah masuk perguruan tinggi.
·    Sering kali manusia tidak menggunakan kebebasannya. Ia merasa lebih senang atau barangkali lebih aman untuk berperilaku menurut rutin, kebiasaan atau adat. Ini mengakibatkan bahwa suatu masyarakat tertentu sering memperihatkan pola-pola kelakuan yang sama.

·    Inilah alasan yang lebih penting, kebebasan tidak berarti bahwa perbuatan manusia tidak ditentukan. Kebebasan, sudah kita lihat, adalah autodeterminasi: kehendak yang menentukan dirinya sendiri. Dan kalau manusia menentukan dirinya sendiri, tentu ia mempunyai suatu maksud atau tujuan. Ia tidak membabi-buta, tapi bertindak untuk mencapai sesuatu atau motif-motif. Perlu dibedakan dengan jelas antara motif dan penyebab. Dalam alam hanya terdapat penyebab-penyebab, tapi dalam tingkah laku manusia- disamping penyebab-penyebab- terdapat juga motif-motif. Penyebab tidak tergantung dari kemauan, sedangkan motif hanya menjadi motif bila diterima oleh kemauan. Penyebab berperanan dalam konteks determinisme, sedangkan motif berperanan dalam konteks kebebasan. Contoh: bila saya berjanji pada hari kamis akan berkunjung ke Saudara A dan tidak lama sebelumnya saya jatuh sakit, maka ada penyebab yang memaksa saya untuk membatalkan janji saya.
Tapi bila saya mengadakan janji yang sama dan kemudian ada acara yang lebih menarik bagi saya (misalnya: menonton sepak bola), maka saya membatalkan janji karena suatu motif. Motif adalah alasan terjadinya sesuatu diluar kemauan manusia.
Karena manusia adalah makhluk berasio dan akibatnya akan bertindak menurut motif-motif, maka seringkali tingkah lakunya memperlihatkan pola-pola yang tetap. Di bidang ekonomi, misalnya: masuk akal saja bahwa konsumen akan membeli barang dengan harga semurah mungkin. Dan masuk akal pula bahwa produsen akan memproduksi barang yang laris di pasaran. Mereka tidak dipaksa berbuat begitu. Jika konsumen mau membeli barang yang lebih mahal di toko A daripada di toko B, sedangkan kualitasnya sama, ia memang bebas untuk berbuat begitu. Tapi hal itu secara umum dinilai bodoh. (Kadang-kadang ia melakukannya juga, tapi karena motif lain: karena gengsi, sebab statusnya akan meningkat bila terlihat ia membeli busananya di “Butik” yang ternama). Jika produsen mau memproduksi barang yang tidak diminta oleh pasaran, ia bebas juga. Tapi hal itu sebetulnya bodoh dan dengan manajemen serupa itu perusahaannya tidak akan berumur panjang. Hukum-hukum ekonomi dan hukum-hukum ilmu manusia lainnya sebagian besar didasarkan atas kenyataan bahwa manusia bertindak menurut motif-motif.











PERTEMUAN 10
TANGGUNG JAWAB


1.    Tanggung Jawab dan Kebebasan
Bila teman saya mengakibatkan kecelakaan lalu lintas, saya tidak bertanggung jawab, sekalipun ia menggunakan sepeda motor saya. Dalam hal ini saya tidak bertanggung jawab, justru karena tidak menjadi penyebabnya. Kalau seorang bapak melakukan tindakan kriminal dan karena itu dihukum penjara seumur hidup, maka hanya dialah yang bertanggung jawab,bukan istri atau anak-anaknya (dengan pengandaian tentu bahwa ia memang bertindak sendirian). Adalah sama sekali tidak adil, bila istri dan anak-anak dipersalahkan atau didiskriminasi akibat kejahatan si bapak itu, justru karena bukan merekalah yang melakukan tindak kejahatan itu. Tetapi untuk bertanggung jawab, tidak cukuplah orang menjadi penyebab, perlu juga orang menjadi penyebab bebas. Kebebasan adalah syarat mutlak untuk tanggung jawab.
Tanggung jawab itu bisa langsung atau tidak langsung. Tanggung bersifat langsung, bila si pelaku sendiri bertanggung jawab atas perbuatannya. Biasanya akan terjadi demikian. Tapi kadang-kadang orang bertanggung jawab secara tidak langsung. Contohnya, kalau anjing saya merusakkan barang milik orang lain, bukanlah anjing yang bertanggung jawab (sebab seekor anjing bukan makhluk bebas), melainkan saya sebagai pemiliknya.
Bila anak kecil melakukan sesuatu yang merugikan orang lain, orang tuanya bertanggung jawab atas kejadian itu, karena anak itu sendiri belum bisa dianggap pelaku bebas. Secara tidak langsung orang tua atau pendamping lain bertanggung jawab, sebab mereka harus mengawasi anaknya.
Tanggung jawab retrospektif adalah tanggung jawab atas perbuatan yang telah berlangsung dan segala konsekuensinya. Bila seorang apoteker telah memberi obat yang salah karena kurang teliti membaca resep dokter, ia bertanggung jawab.
Contoh tentang tanggung jawab prospektif ialah bahwa pagi hari ketika membuka apoteknya si apoteker bertanggung jawab atas semua obat yang akan dijual hari itu. Tanggung jawab prospektif adalah tanggung jawab atas perbuatan yang akan datang.
2.    Tingkat-tingkat Tanggung Jawab
Kita bisa membayangkan kasus-kasus berikut ini, lalu mempelajari derajat tanggung jawabnya:
a.    Ali mencuri, tapi ia tidak tahu bahwa ia mencuri.
b.    Budi mencuri, karena dia seorang kleptoman.
c.    Cipluk mencuri, karena dalam hal ini ia sangka ia boleh mencuri.
d.    Darso mencuri, karena orang lain memaksa dia dengan mengancam nyawanya.
e.    Eko mencuri, karena ia tidak bisa mengendalikan nafsunya.
Tentang A:
Ali mengambil tas milik orang lain berisikan uang satu juta rupiah, karena ia berpikir tas itu adalah tasnya sendiri. Maklumlah, warna dan bentuknya persis sama dengan tas yang menjadi miliknya. Ketika sampai di rumah dan membuka tasnya, barulah ia menyadari bahwa tas itu ternyata milik orang lain. Ia tidak bebas dan tidak bertanggung jawab dalam melakukan perbuatan “pencurian” itu, karena ia tidak tahu bahwa ia mencuri (= bahwa tas itu milik orang lain). Dipandang dari luar, Ali memang mencuri mengambil milik orang lain tanpa izin), tapi ia tidak tahu bahwa ia “mencuri”. Perbuatan itu tidak dilakukan dengan sengaja. Karena itu perbuatannya sebaliknya tidak disebut “pencuri”.
Supaya tidak bertanggung jawab, ia harus melakukan sesuatu untuk membetulkan kekeliruannya. Mestinya ia melapor ke polisi atau dengan cara lain mencari pemilik yang berhak. Kalau tidak, ia bertanggung jawab atas kenyataan bahwa perbuatannya menjadi pencurian.
Tentang B:
Budi juga mengambil tas berisikan uang milik orang lain, tapi ia menderita kelainan jiwa yang disebut “kleptomani”, yaitu ia mengalami paksaan batin untuk mencuri. Di sini tidak ada kebebasan psikologis, seperti sudah kita lihat sebelumnya, dan akibatnya ia tidak bertanggung jawab. Tapi perlu ditekankan lagi: supaya budi tidak bebas dan tidak bertangung jawab, haruslah perbuatannya sungguh-sungguh berasal dari kleptomani.
Tentang C:
Cipluk juga mengambil uang milik orang lain. Ia membuatnya dengan bebas, tapi dalam arti tertentu ia membuatnya terpaksa juga. Cipluk ini seorang janda yang mempunyai 5 anak yang masih kecil. Mereka sudah beberapa hari tidak dapat makan, karena uangnya habis sama sekali. Ia sudah menempuh segala cara yang dapat dipikirkan untuk memperoleh makanan yang dibutuhkan. Mengemis pun ia coba. Tapi sampai sekarang ia gagal terus. Suatu ketika kebetulan ia mendapat kesempatan emas untuk mencuri tas berisikan uang. Kesempatan ini tidak disia-siakan. Uang yang dicuri itu cukup untuk membeli makanan beberapa bulan. Ibu cipluk berpendapat bahwa dalam hal ini ia boleh mencuri. Ia menghadapi konflik kewajiban. Di satu pihak ia wajib menghormati milik orang lain dan karena itu ia tidak boleh mencuri. Di lain pihak sebagai seorang ibu ia wajib memperjuangkan keselamatan anaknya. Ibu cipluk berpendapat bahwa kewajiban kedua harus diberi prioritas dan akibatnya dalam kasus ini ia boleh mencuri. Tapi dipandang dari sudut etika, dalam kasus ini ia tidak bersalah.
Tentang D:
Karena perawakannya pendek, Darso dipaksa oleh majikannya untuk masuk kamar seseorang melalui lobang kisi-kisi diatas pintu, guna mengambil tas berisikan uang yang terdapat di situ. Kalau ia menolak, ia akan disiksa dan barangkali malah dibunuh. Darso tidak melihat jalan lain daripada menuruti perintah majikannya. Ia membuatnya terpaksa, sebab sebenarnya ia tidak mau. Namun ia juga tidak ingin tertimpa ancaman majikannya. Dalam kasus ini ternyata Darso tidak bebas (dalam arti kebebasan moral) dan karena itu ia juga tidak bertanggungjawab atas perbuatannya.
Tentang E:
Uko juga mencuri uang satu juta rupiah yang oleh pemiliknya disimpan dalam sebuah tas. Pada ketika dapat dipastikan tidak ada orang yang melihat, ia mengambil tas itu dan langsung kabur. Si Eko sudah lama mencita-citakan akan mempunyai televisi bewarna. Tapi sampai sekarang uangnya tidak cukup. Karena pemilik tas itu lengah sesaat, ia bisa mewujudkan cita-citanya. Mulai hari itu ia sekeluarga dapat menikmati siaran televisi bewarna. Jadi, Eko tidak mencuri untuk merugikan pemilik uang itu. Maksudnya tentu tidak mencelakakan orang itu. Ia malah tidak tahu bahwa orang itu pedagang kecil yang dalam tas membawa hampir seluruh modalnya yang baru saja diambil dari Bank. Eko hanya didorong oleh nafsunya mau memiliki televisi bewarna, sebagaimana sudah lama dimiliki oleh tetangga dan kenalan lain. Dengan mencuri uang itu Eko bertindak bebas dan karena itu ia bertangung jawab.
Tapi dalam kasus Eko ini bisa juga terjadi bahwa kebebasannya dikurangi dan karena itu tanggung jawabnya akan dikurangi pula. Misalnya: Eko berasal dari keluarga pencuri profesional. Ayahnya mencari nafkah dengan mencuri. Demikian juga kakak-kakaknya. Sendari kecil ia sudah diajak oleh saudaranya untuk ikut serta dalam kegiatan jahat mereka. Mencuri bagi dia menjadi hal yang serba biasa. Ia hampir tidak bisa membayangkan cara hidup yang lain. Kalau latar belakang keluarga dan pendidikan Eko memang demikian, maka masa kebebasannya akan berkurang juga. Atau kita memilih variasi lain. Andaikan saja Eko kecanduan narkotika. Ia seolah-olah tidak bisa hidup, kalau tidak mendapatkan suntikan heroin secara teratur. Tidak mungkin lagi ia melawan dorongan kecanduan itu. Ia akan menempuh jalan apa saja untuk mendapatkan uang, agar bisa memenuhi kebutuhannya. Kalau begitu, Eko juga kurang bebas kalau ia mencuri dan karena itu juga kurang bertanggung jawab.
Bila seseorang melakukan perbuatan yang secara obyektif dinilai kriminal (mencuri misalnya), namun ia melakukan hal itu karena suatu dorongan batin yang tidak bisa diatasi (kleptomani, misalnya), sehingga ia tidak bebas, maka ia tidak bertanggung jawab juga dan tidak akan dihukum. Kleptomani adalah kelainan yang harus diberi terapi (kalau bisa), bukan hukuman
3.    Masalah Tanggung Jawab Kolektif
Contoh berkaitan dengan peristiwa yang barangkali paling menyedihkan yang pernah terjadi dalam sejarah olah raga modern. Akhir bulan Mei 1985 di stadion Heysel, brussel,Belgia, terjadi perkelahian massal antara para suporter sebuah klub sepak bola Inggris dan sebuah klub Italia dalam rangka pertandingan Piala Champions. Tragedi ini menelan 39 korban jiwa – semuanya warga negara Italia – dan 450 korban luka-luka berat dan ringan. Pemerintah Inggris di London merasa dirinya bersalah dan menawarkan ganti rugi untuk para korban. Dalam rangka peristiwa tragis ini rupanya seluruh bangsa Inggris menerima tanggung jawab atas perbuatan yang dilakukan oleh beberapa warganya.
Yang dimaksudkan dengan tanggung jawab kolektif ialah bahwa orang A, B, C, D, dan seterusnya, secara pribadi tidak bertanggung jawab, sedangkan mereka semua bertanggung jawab sebagai kelompok atau keseluruhan.
Sebab, tidak bisa diharapkan ganti rugi dari pelakunya, karena dalam situasi kacau balau begini tidak dapat dipastikan siapa yang berbuat apa. Hanya diketahui dengan pasti bahwa pelakunya adalah suporter Inggris. Dengan memberi ganti rugi pemerintah Inggris ingin menjaga nama baik bangsanya. Bila kesebelasan mereka menjadi juara, tentu seluruh bangsa Inggris akan turut bergembira dan merasa bangga, biarpun hanya beberapa orang saja bersusah payah meraih kemenangan. Kegembiraan nasional seperti itu didasarkan atas solidaritas bangsa. Karena alasan solidaritas yang sama sangatlah terpuji jika Inggris di sini menyatakan rasa tanggung jawabnya pula, walaupun tanggungjawab moral dalam arti yang sebenarnya tidak ada.



 









Pertemuan 12
Hak dan Kewajiban

Abad ke-18 timbul pengertian “hak” dalam arti modern: ciri yang berkaitan dengan manusia yang bebas, terlepas dari setiap ikatan dengan hukum obyektif.
Pandangan filsuf Inggris, H.L.A.Hart, jika ia menegaskan bahwa hak dalam arti modern itu baru bisa timbul sesudah diakui kebebasan dan otonomi setiap manusia. Rupanya keinsafan akan martabat manusia sebagai makhluk yang bebas dan otonom merupakan syarat mutlak yang memungkinkan diakuinya hak-haknya.
1.    Hakikat Hak
Hak merupakan klaim yang dibuat oleh orang atau kelompok yang satu terhadap yang lain atau terhadap masyarakat. Orang yang mempunyai hak bisa menuntut (dan bukan saja mengharapkan atau menganjurkan) bahwa orang lain akan memenuhi dan menghormati hak itu.
Contoh: kondektur kereta api bisa menuntut agar penumpang membayar karcisnya. Itulah klaim yang bisa dibenarkan dan karenanya harus dipenuhi oleh yang bersangkutan.

2.    Hak Legal dan Moral

Hak legal adalah hak yang didasarkan atas hukum dalam salah satu bentuk. Hak-hak legal berasal dari undang-undang, peraturan hukum atau dokumen legal lainnya.
Contoh: jika negara mengeluarkan peraturan bahwa para veteran perang memperoleh tunjangan setiap bulan, maka setiap veteran yang memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan, berhak untuk mendapat tunjangan tersebut. Atau contoh lain: jika seorang pemborong yang membangun gedung dalam sebuah kontrak resmi mewajibkan diri untuk membayar denda sekian banyak untuk setiap hari pembangunannya terlambat selesai, maka pemilik gedung mempunyai hak legal menerima jumlah uang yang ditentukan, bila pemborong tidak memenuhi kewajibannya. Karena itu dapat kita katakan juga bahwa hak legal didasarkan atas prinsip hukum.

Kalau hak legal berfungsi dalam sistem hukum, maka hak moral berfungsi dalam sistem moral. Hak moral didasarkan atas prinsip atau peraturan etis saja.
Contoh: Seorang suami atau istri berhak bahwa pasangannya akan setia padanya, tapi ini suatu hak moral, bukan hak legal. Sebaliknya, hak legal belum tentu mengandung hak moral juga.
Di Amerika Serikat baru pada tahun 1954 Mahkamah Agung melarang diskriminasi ras dalam sekolah-sekolah negeri. Bila sebelumnya seorang kepala sekolah menolak untuk menerima anak-anak kulit hitam di sekolah negeri yang selama itu hanya menampung anak-anak kulit putih, ia mempunyai hak legal untuk itu, biarpun kita akan menyetujui bahwa tindakannya tidak etis karena didasarkan atas diskriminasi ras. Dari contoh ini kiranya sudah jelas bahwa hak legal tidak sama dengan hak moral.

Kami berpendapat bahwa memang ada hak yang tidak bersifat legal ataupun moral. Hak-hak seperti itu oleh T.L. Beauchamp disebut hak-hak konvesional. Jika saya menjadi anggota suatu organisasi atau klub, dengan itu saya memperoleh beberapa hak. Begitu pula jika saya mengadakan permainan dengan teman atau berolah raga, saya dan teman mempunyai hak-hak tertentu. Yang main dengan buah catur putih, umpamanya berhak untuk membuka permainannya. Pada umumnya dapat dikatakan bahwa hak-hak seperti itu muncul karena orang tunduk pada aturan-aturan atau konvensi-konvensi yang disepakati bersama.

Hak-hak konvensional ini berbeda dengan hak-hak moral karena hanya tergantung pada aturan atau konvensi yang menguasai permainan atau keanggotaan tadi. Dan hak-hak ini berbeda dengan hak-hak jegal karena tidak tercantum dalam suatu sistem hukum.

Menurut Maclntyre, hak-hak moral merupakan produk suatu keadaan historis dan sosial yang tertentu. Hak hanya ada karena berkaitan dengan sejumlah aturan yang berlaku dalam masyarakat atau periode sejarah yang tertentu. Seandainya ada hak-hak moral, maka hak-hak itu akan berlaku universal: selalu dan di mana-mana.

3.    Beberapa Jenis Hak yang lain

a.    Hak Khusus dan Hak Umum
Pertama-tama dapat dibedakan antara hak khusus dan hak umum. Hak khusus timbul dalam suatu relasi khusus antara beberapa manusia atau karena fungsi khusus yang dimiliki orang satu terhadap orang lain. Jadi, hak ini hanya dimiliki oleh satu atau beberapa manusia. Jika Ali meminjam Rp.10.000 dari Bambang dengan janji akan mengembalikannya dalam 2 bulan, maka Bambang di sini mendapat hak yang tidak dimiliki oleh orang lain.
Contoh ke-2: mengenai hak atas dasar fungsi khusus: orang tua mempunyai hak bahwa anaknya akan patuh kepadanya dan anak mempunyai hak terhadap orang tuanya untuk diberi makanan, pendidikan dan semua kebutuhan lain yang diperlukan supaya ia bisa bertumbuh menjadi orang dewasa yang sehat badan jiwanya. Dalam hak khusus ini termasuk juga privilese atau hak istimewa. Orang yang mendapat gelar kehormatan, mempunyai hak untuk menyandang lencana yang berhubungan dengannya.
Hak umum dimiliki manusia bukan karena hubungan atau fungsi tertentu, melainkan semata-mata karena ia manusia. Dalam bahasa Indonesia kita sudah biasa dengan istilah “hak asasi manusia”.
b.    Hak Positif dan Hak Negatif
Hak bersifat negatif, jika saya bebas untuk melakukan sesuatu atau memiliki sesuatu, dalam arti: orang lain tidak boleh menghindari, saya untuk melakukan atau memiliki hal itu.
Contoh: hak negatif ialah hak atas kehidupan, kesehatan, milik atau keamanan, lagi pula hak mengikuti hati nurani, hak beragama, hak mengemukakan pendapat, hak berkumpul dengan orang lain.

Suatu hak bersifat positif, jika saya berhak bahwa orang lain berbuat sesuatu untuk saya. Anak kecil yang jatuh dalam kolam air berhak untuk diselamatkan dan orang lain harus membantu dia, jika betul menyaksikan kejadian itu.
Contoh: hak positif lainnya adalah hak atas makanan, pendidikan, pelayanan kesehatan, pekerjaan yang layak dll.
Tentang hak negatif harus kita simak lagi pembagian lebih lanjut. Hak negatif dapat dibagi atas hak aktif dan hak pasif. Hak negatif aktif adalah hak untuk berbuat atau tidak berbuat seperti orang kehendaki. Orang lain tidak boleh menghindari saya untuk melakukan sesuatu. Misalnya, saya mempunyai hak untuk pergi kemana saja saya mau atau mengatakan apa yang saya inginkan. Hak-hak aktif ini bisa disebut hak kebebasan.
Hak negatif pasif adalah hak untuk tidak diperlakukan orang lain dengan cara tertentu. Misalnya, saya mempunyai hak bahwa orang lain tidak campur dalam urusan pribadi saya, bahwa rahasia saya tidak dibongkar, bahwa nama baik saya tidak dicemarkan, bahwa keutuhan tubuh saya tidak diganggu, dan seterusnya. Hak-hak pasif ini bisa disebut hak keamanan.
c.    Hak Individual dan Hak sosial
Pembagian dalam hak individual dan hak sosial sering dikemukakan dalam hubungan dengan Deklarasi Universal tentang Hak-hak Asasi Manusia yang diproklamasikan oleh PBB pada tahun 1948. Disini dengan jelas tampak 2 macam hak. Pertama-tama ada hak yang dimiliki individu-individu terhadap negara. Negara tidak boleh menghindari atau mengganggu individu dalam mewujudkan hak-hak ini, seperti hak mengikuti hati nurani, hak beragama, hak berserikat, hak mengemukakan pendapat.
Di samping itu ada lagi jenis hak lain yang dimiliki manusia bukan terhadap negara, melainkan justru sebagai anggota masyarakat bersama dengan anggota-anggota lain. Hak-hak ini bisa disebut sosial. Contohnya ialah hak atas pekerjaan, hak atas pendidikan, hak atas pelayanan. Hak-hak ini semua bersifat positif.
2...Ada hak yang Bersifat Absolut/
Yang mempunyai peluang besar untuk dianggap absolut adalah hak-hak negatif pasif atau setidak-tidaknya beberapa di antara hak-hak negatif pasif itu, karena tidak perlu berkonflik dengan hak-hak lain. Sebagai contoh bisa disebut hak untuk tidak dikenakan siksaan, tidak diperlakukan dengan cara kejam atau tidak berperikemanusiaan, dan sebagainya. Jadi, yang dimaksud disini adalah hak-hak yang dirumuskan dalam pasal 5 dari Deklarasi Universal tentang Hak-Hak Asasi Manusia.
3. .Hubungan Antara Hak dan Kewajiban
1.1 Dipandang dari segi Kewajiban
      Kepada teori korelasi ini perlu diakui bahwa memang sering terdapat hubungan timbal balik antara hak dan kewajiban, tapi tidak bisa dikatakan bahwa hubungan itu mutlak dan tanpa pengecualian. Tidak selalu kewajiban satu orang sepadan dengan hak orang lain. Malahan dalam konteks kewajiban legal pun-kewajiban yang didasarkan pada suatu peraturan resmi-tidak selalu ada hak yang sesuai dengannya. Misalnya, pengemudi mobil wajib berhenti, bila lampu lalu lintas merah menyala, tapi tidak bisa dikatakan bahwa orang lain berhak agar pengemudi tertentu berhenti.
Di sini filsuf Inggris abad ke-19, Jhon Stuart Mill (1806-1873), mengemukakan pembedaan yang pantas diperhatikan. Ia membedakan antara “kewajiban sempurna” dan “kewajiban tidak sempurna”. Kewajiban sempurna selalu terkait dengan hak orang lain, sedangkan kewajiban tidak sempurna tidak terkait dengan hak orang lain. Kewajiban sempurna, demikian pendapat Mill, didasarkan atas keadilan. Orang mempunyai kewajiban ini, jika orang lain boleh menuntut agar sesuatu diberikan kepadanya atau dilakukan baginya.
Jika saya meminjam uang, umpamanya, dari seorang teman dan saya berjanji akan mengembalikannya akhir bulan, maka saya mempunyai kewajiban terhadapnya dan teman saya mempunyai hak supaya uangnya diberikan kepadanya pada waktu yang disepakati itu. Kewajiban tidak sempurna tidak didasarkan atas keadilan, tapi mempunyai alasan moral lain, misalnya berbuat baik atau kemurahan hati. Pengemis yang tentu tidak berhak atas bantuan saya, biarpun saya berkewajiban untuk berbuat baik.
1.2 Dipandang dari Segi Hak
Mendekati masalah hubungan hak-kewajiban dari sudut hak, maka harus dikatakan juga bahwa korelasi hak dengan kewajiban paling jelas dalam kasus hak-hak khusus. Setiap kali saya mempunyai hak terhadap seseorang, maka orang itu mempunyai kewajiban terhadap saya.
Jika setiap orang mempunyai hak atas pekerjaan, itu tidak berarti bahwa saya sebagai pengusaha mempunyai kewajiban memberikan pekerjaan kepada orang yang tertentu. Apalagi, lowongan kerja yang mungkin ada dalam perusahaan yang saya pimpin, hanya saya dapat berikan kepada satu orang saja dan bukan kepada semua orang yang berhak atas pekerjaan.
1.3 Kewajiban terhadap Diri sendiri
Pengertian “hak” selalu mengandung hubungan dengan orang lain,entah orang yang tertentu entah masyarakat luas pada umumnya.
Kita wajib untuk mempertahankan kehidupan kita, umpamanya, atau memperkembangkan bakat kita. Kewajiban yang kita miliki terhadap diri kita sendiri tidak terlepas dari hubungan kita dengan orang lain itu. Saya mempunyai kewajiban untuk mempertahankan kehidupan saya, memang, tapi kewajiban itu tidak terlepas dari tanggung jawab saya terhadap keluarga, teman-teman, serta lingkungan di mana saya hidup dan bekerja. Orang yang membunuh diri tidak saja melanggar kewajiban terhadap dirinya sendiri, tapi serentak juga terhadap banyak orang lain. Dan orang muda yang menyianyiakan bakatnya, bukan saja melanggar kewajiban terhadap dirinya saja, tapi juga terhadap orang tua, sanak saudara, dan tanah airnya.
1.4  Teori tentang Hak dan Individualisme
Hak adalah bahwa teori itu mengandung suatu individualisme yang merugikan solidaritas dalam masyarakat.
Menurut Marx, hak-hak itu tidak lain dari pada hak-hak manusia yang egoistis. Dengan hak-hak ini egoisme manusia mendapat legitimasinya. Hak manusia adalah hak untuk menyendiri. Dengan demikian manusia dilepaskan dari sesama. Ia dijadikan sebuah atom yang berdiri sendiri dan tidak membutuhkan orang lain. Kepentingan individu diutamakan di atas kepentingan masyarakat. Mengakui hak manusia berarti melestarikan kepentingan diri si individu.
Bagi Marx hak atas milik adalah prototipe segala hak. Ia melihat hak atas milik sebagai sumber semua hak lain dalam masyarakat borjuis. Dan ia mengeritik dengan tajam cara hak ini dirumuskan dalam undang-undang Dasar Prancis dari tahun 1793, dimana dikatakan: “Hak milik adalah hak setiap warga negara untuk tidak sewenang-wenang menikmati dan menggunakan barang milik, pendapatan serta buah hasil pekerjaan dan kerajinannya.
Sifat individualistis dari hak-hak manusia itu filsuf Amerika, Ronald Dworkin, mengatakan bahwa hak-hak manusia seolah-olah merupakan “kartu turf” yang dimenangkan diatas kebijaksaan yang ditentukan suatu negara. Hal itu jelas sekali dalam kasus conscientious objector, orang yang mempunyai keberatan untuk melaksanakan suatu ketentuan negara berdasarkan hati nurani. Misalnya, orang yang menolak memenuhi wajib meliter. Di negara yang mengenal wajib meliter, semua laki-laki sekitar umur 18 tahun harus memenuhi panggilan negara untuk masuk tentara. Tapi orang yang menurut hati nuraninya yakin ia tidak bisa masuk tentara, boleh menggunakan haknya (hak mengikuti hati nurani) untuk membatalkan bagi dirinya kebijaksanaan negara itu. Dalam “permainan” ini ia seolah-olah menggunakan haknya sebagai “kartu turf’ terhadap lawan mainnya, yaitu negara. Yang dikatakan Dworkin ini sering kali memang tepat. Karena hak-hak manusia didasarkan atas dasar martabat individu itu.
Mengakui hak-hak manusia tidak sama dengan menolak masyarakat atau mengganti masyarakat itu dengan suatu kumpulan individu-individu tanpa hubungan satu sama lain. Yang ditolak dengan menerima hak-hak manusia adalah totalitarisme, artinya, pandangan bahwa negara mempunyai kuasa absolut terhadap para warganya. Hak-hak manusia menjamin agar negara tidak sampai menggilas individu-individu. Oleh karena adanya hak-hak ini negara pun harus tunduk pada norma-norma etis.
Kaisar Caligula dan nero dalam zaman Roma kuno hanya merupakan 2 contoh di antara sekian banyak yang lain. Yang mencolok ialah bahwa totalitarisme dalam bentuk komunistis pun gagal. Komunisme mulai dengan aspirasi etis yang luhur. Tujuannya adalah mengakhiri penindasan manusia oleh manusia dan mendirikan suatu masyarakat di mana manusia satu tidak diistimewakan di atas yang lain. Komunisme sebenarnya ingin merealisasikan masyarakat dimana semua manusia sama derajatnya. Tapi ternyata disini pun tidak tercipta persamaan.
Sekarang ini setiap orang akan menyeyujui Marx bila ia menolak ketentuan dari Undang-undang Dasar Prancis 1793 yang mengatakan bahwa setiap warga negara berhak untuk menikmati dan menggunakan barang dengan sewanang-wenang.
Menyetujui bahwa orang itu bertingkah laku tidak bermoral. Kalau kita bicara tentang hak-hak manusia, kita tidak pertama-tama maksudkan hak atas milik, melainkan hak atas kebebasan dengan segala implikasinya (hak mengikuti hati nurani, kebebasan agama, hak mempunyai pendapat sendiri, hak berkumpul, dan sebagainya). Hak-hak seperti itu paling dekat dengan martabat manusia.
Akhirnya perlu ditekankan bahwa hak-hak tidak mengasingkan manusia dari kehidupan sosial, tapi sebaliknya merupakan syarat untuk membentuk kehidupan sosial yang sungguh-sungguh manusiawi, terutama karena adanya hak mendirikan organisasi dan menjadi anggota suatu organisasi atau perkumpulan.
Suatu masyarakat tidak berfungsi semestinya, jika negara mengatur semua bidang. Misalnya, bidang ilmu pengetahuan tidak akan berkembang baik kalau seluruhnya diatur oleh negara. F.de Wachter melihat sebagai hasil positif dari hak-hak manusia bahwa semua taraf sosialisasi dalam masyarakat bisa berkembang sendiri-sendiri,tanpa merintangi satu sama lain (bidang ilmu pengetahuan, agama, kesenian, ekonomi, politik, dan lain-lain) baik hak-hak manusia diakui dengan konsekuen, maka kita bisa menjadi anggota macam-macam kelompok sosial (keluarga, sekolah, perusahaan, serikat buruh, perkumpulan keagamaan, dan banyak lagi). Hak-hak manusia tidak menggangu masyarakat untuk berfungsi dengan baik, tapi justru memperlancar komunikasi dan kebersamaan sosial.
1.5  Siapa yang Memiliki Hak?
 Bila dipelajari lebih mendalam 3 di antara masalah-masalah ini, dengan maksud memperoleh pengertian lebih baik tentang subyek hak.
Contoh 1: adalah permasalahan tentang boleh tidaknya abortus provocatus. Di beberapa negara sedang berlangsung perdebatan sengit tentang masalah ini. Di Amerika Serikat, misalnya, perdebatan ini berlangsung antara 2 kelompok yang masing-masing memakai nama choice dan pro life. Mereka yang dapat menyetujui tindakan abortus, menekankan hak wanita bersangkutan untuk mengambil keputusan tentang tubuhnya sendiri (pro choice). Sedang mereka yang menolak abortus sebagai tidak etis, menggaris bawahi hak fetus dalam kandungan (pro life). Fetus ini – mereka tegaskan – memilki hak atas kehidupan yang tidak boleh dilanggar oleh siapa pun, sama seperti membunuh orang yang tidak bersalah tidak bisa dibenarkan, karena ia berhak atas kehidupan
Contoh ke-2: adalah peranan masalah hak dalam diskusi tentang tanggung jawab moral atas lingkungan hidup. Dalam konteks ini tidak jarang dikemukakan argumen bahwa generasi-generasi mendatang juga mempunyai hak, sehingga kita tidak boleh mengeksploitasikan kekayaan bumi dengan merugikan generasi-generasi sesudah kita.
Contoh ke-3: adalah hak binatang. Ada filsuf terkemuka yang menerima adanya hak binatang. Bukan saja manusia mempunyai hak – mereka tegaskan – binatang pun mempunyai hak yang harus dihormati. Salah satu konsekuensi penting adalah bahwa eksperimen ilmiah dengan memakai binatang tidak boleh dilakukan seenaknya saja. Tidak bisa diragukan, dalam hal ini di masa lampau banyak terjadi kekejaman yang sebenarnya tidak perlu. Para pendukung hak binatang berpendapat bahwa eksperimen semacam itu harus dijalankan demikian rupa, sehingga hak-hak binatang tidak dilanggar dan mau tidak mau itu akan berarti bahwa percobaan-percobaan dengan binatang harus dibatasi, baik dalam cara maupun dalam jumlanya.









Pertemuan 15
Bobot moral manusia

Kita berbicara tentang bobot moral (baik buruknya) orang itu sendiri dan bukan tentang bobot moral salah satu perbuatannya.
Dua pendekatan moral yang sudah dapat ditemukan dalam hidup sehari-hari ini dalam tradisi pemikiran filsafat moral tampak sebagai 2 tipe etika yang berbeda:
Etika kewajiban dan etika keutamaan. Etika kewajiban mempelajari prinsip-prinsip dan aturan-aturan moral yang berlaku untuk perbuatan kita. Etika ini menunjukkan norma-norma dan prinsip-prinsip mana yang perlu diterapkan dalam hidup moral kita, lagi pula urutan pentingnya yang berlaku di antaranya. Jika terjadi konflik antara 2 prinsip moral yang tidak dapat dipenuhi sekaligus, etika ini mencoba menentukan yang mana harus diberi prioritas. Pendeknya, etika kewajiban menilai benar salahnya kelakuan kita dengan berpegang pada norma dan prinsip moral saja.
Etika keutamaan mempunyai orientasi yang lain. Etika ini mempelajari keutamaan (virtue), artinya sifat watak yang dimiliki manusia. Etika keutamaan menyelidiki apakah kita sendiri orang baik atau buruk. Etika keutamaan mengarahkan fokus perhatiannya pada being manusia, sedangkan etika kewajiban menekankan doing manusia.
Etika keutamaan ingin menjawab pertayaan: “Saya harus menjadi orang yang bagaimana ?” sedangkan bagi etika kewajiban pertanyaan pokok adalah: “saya harus melakukan apa ?”. Ditinjau dari segi sejarah filsafat moral, maka etika keutamaan adalah tipe teori etika yang tertua.
Moralitas selalu berkaitan dengan prinsip serta aturan dan serentak juga dengan kualitas manusia itu sendiri, dengan sifat-sifat wataknya. Kami dapat menyetujui pandangan Frankena bahwa etika kewajiban dan etika keutamaan melengkapi satu sama lain. Etika kewajiban membutuhkan etika keutamaan dan, sebaliknya, etika keutamaan membutuhkan etika kewajiban. Di bidang moral, usaha untuk mengikuti prinsip dan aturan tertentu kurang efisien, kalau tidak disertai suatu sikap tetap manusia untuk hidup menurut prinsip dan aturan moral itu. Dan yang terkhir ini tidak lain daripada keutamaan. Akan sangat tidak praktis, jika seorang guru, umpamanya, dalam menjalankan tugasnya sepanjang hari harus mengukur perbuatannya dengan prinsip-prinsip moral. Jauh lebih efisien, jika tingkah lakunya diarahkan oleh keutamaan yang melekat pada batinnya, seperti misalnya kesetiaan dan ketekunan kerja. Justru dalam kehidupan moral yang rutin keutamaan sangat dibutuhkan.
Dalam hidup sehari-hari kelakuan moral kita lebih baik dituntun oleh keutamaan. Seorang dokter yang belum pernah melakukan malapraktek, karena selalu patuh pada aturan yang berlaku (dalam arti hukum maupun moral), belum tentu merupakan dokter yang sungguh-sungguh baik dari sudut moral. Supaya menjadi dokter yang baik, perlu ia memiliki juga sikap rela melayani sesama yang sakit. Dengan kata lain, perlu ia memiliki keutamaan. Pohon yang baik dengan sendirinya akan menghasilkan buah yang baik. Etika keutamaan langsung bertujuan membuat manusia menjadi seperti pohon yang baik, sehingga tidak bisa lain perbuatannya akan baik juga.
Disisi lain etika keutamaan membutuhkan juga etika kewajiban. Etika keutamaan saja adalah buta, jika tidak dipimpin oleh norma atau prinsip. Benci – sebagai salah satu sifat watak – mudah membawa orang ke perbuatan seperti membunuh atau merugikan orang lain. Keadilan – sebagai sifat watak – membawa kita ke suatu keadaan dimana kita memperlakukan orang lain secara adil dengan membawa gaji yang pantas – umpamanya – kepada karyawan. Bagaimana kita tahu bahwa yang satu adalah buruk dan yang lain adalah baik ? tentu karena kita berpegang pada norma. Kita dapat membedakan 2 sifat watak tadi, karena kita menerima sebagai norma moral “jangan membunuh orang yang tidak bersalah” dan “kita harus memperlakukan orang lain dengan adil”.
2...Keutamaan dan Watak Moral
Keutamaan adalah disposisi watak yang telah diperoleh seseorang dan memungkinkan dia untuk bertingkah laku baik secara moral. Kemurahan hati, misalnya, merupakan suatu keutamaan yang membuat seseorang membagi harta bendanya dengan orang lain yang membutuhkan. Dan kita semua akan setuju bahwa tingkah laku seperti itu adalah baik dan terpuji. Mari memandang lebih rinci beberapa unsur dalam penjelasan tadi.
·    Keutamaan adalah suatu disposisi, artinya, suatu kecenderungan tetap. Itu tidak berarti bahwa keutamaan tidak bisa hilang, tapi hal itu tidak mudah terjadi. Keutamaan adalah sifat watak yang ditandai stabilitas.
Keutamaan adalah sifat baik yang mendarah daging pada seseorang, tapi bukan sembarang sifat baik adalah keutamaan juga. Jadi keutamaan mempunyai hubungan eksklusif dengan moral. Keutamaan bagi kita sama saja dengan keutamaan moral.

·    Keutamaan berkaitan dengan kehendak. Keutamaan adalah disposisi yang membuat kehendak tetap cenderung ke arah yang tertentu. Kerendahan hati, misalnya, menempatkan kemauan saya ke arah yang tertentu (yaitu tidak menonjolkan diri) dalam semua situasi yang saya hadapi. Karena perkaitan dengan kehendak itu maksud atau motivasi si pelaku menjadi sangat penting, sebab maksud mengarahkan kehendak.

·    Keutamaan diperoleh melalui jalan membiasakan diri dan karena itu merupakan hasil latihan. Keutamaan terbentuk selama suatu proses pembiasaan dan latihan yang cukup panjang, di mana pendidikan tentu memainkan peranan penting. Di sini boleh ditambah lagi bahwa proses perolehan keutamaan itu disertai suatu upaya korektif, artinya, keutamaan diperoleh dengan mengoreksi suatu sifat awal yang tidak baik.
Keutamaan seperti keberanian, misalnya, diperoleh dengan melawan rasa takut yang lebih biasa bagi manusia, bila menghadapi bahaya. Dari uraian tadi menjadi jelas bahwa keutamaan sebagai sifat watak moral perlu dibedakan dari sifat watak non-moral.

·    Keutamaan perlu dibedakan juga dari keterampilan.
a.    Seorang pemain piano, pemain bulu tangkis, penembak jitu atau pilot pesawat terbang semua memiliki keterampilan yang memungkinkan mereka untuk melakukan perbuatan tertentu.
Tapi orang yang memiliki keberanian, kemurahaan hati, kesabaran atau keutamaan apa saja tidak pernah terarah kepada jenis perbuatan tertentu saja. Dari segi jenis perbuatan, keutamaan mempunyai lingkup kemungkinan jauh lebih luas daripada keterampilan.

b.    Baik keterampilan maupun keutamaan beciri korektif: keduanya membantu untuk mengatasi suatu kesulitan awal. Tapi di sini ada perbedaan juga. Dalam hal keterampilan, kesulitan itu bersifat teknis. Jika sudah diperoleh ketangkasan, kesulitan teknis itu teratasi. Dalam keutamaan, kesulitan itu berkaitan dengan kehendak. Jika menghadapi bahaya, kita cenderung melarikan diri. Dengan memperoleh keberanian, kehendak kita mempunyai kesanggupan mengatasi ketakutan itu.

c.    Perbedaan berikut berhubungan erat dengan yang tadi. Karena sifatnya teknis, keterampilan dapat diperoleh dengan – setelah ada bakat tertentu – membaca buku petunjuk, mengikuti kursus, dan melatih diri. Sedangkan proses memperoleh keutamaan jauh lebih kompleks, sama kompleksnya dengan seluruh proses pendidikan.

d.    Aristoteles (384-322 s.M.) dan Thomas Aquinas (1225-1274). Perbedaan ini berkaitan dengan membuat kesalahan. Jika orang yang mempunyai keterampilan, membuat kesalahan, ia tidak akan kehilangan keterampilannya, seandainya ia membuat kesalahan itu dengan sengaja.
Jika seorang pilot dengan sengaja mendaratkan pesawatnya dengan kasar (karena bermaksud mengagetkan para penumpang, umpamanya), ia tetap seorang pilot yang terampil, sebab ia bisa mendaratkan pesawatnya dengan halus juga.
Jika seseorang yang baik hati dengan sengaja membuat jahat terhadap orang lain, ia tidak lagi dapat dikatakan mempunyai keutamaan kebaikan hati. Sedangkan jika tanpa didasari ia mengatakan sesuatu yang mennyinggung perasaan orang lain, dengan itu ia belum kehilangan kualitasnya sebagai orang berkeutamaan.

e.    Semuanya yang dikatakan tentang keutamaan ini berlaku juga untuk lawannya. Contoh: kekejutan hati adalah lawan keberanian. Kekikiran adalah lawan kemurahan hati. Sebagai lawan keutamaan adalah keburukan.
Menurut W.K. Frankena, ada dua keutamaan pokok, yaitu kebaikan hati dan keadilan.
Menurut pandangan yang mempunyai tradisi sudah lama ada 4 keutamaan pokok:
-    Kebijaksanaan
-    Keberanian
-    Pengendalian diri dan
-    Keadilan
Tradisi ini sudah berakar kuat sejak Plato dan Aristoteles. Dalam abad pertengahan tradisi ini dilanjutkan antara lain oleh Thomas Aquinas, tapi ia menambah 3 keutamaan lagi yang disebut keutamaan teologis:
-    Kepercayaan
-    Pengharapan dan
-    Cinta Kasih
Sehingga sejak itu terutama dalam kalangan kristen tercipta tradisi untuk membedakan 7 keutamaan pokok: 4 yang bersifat manusiawi biasa dan 3 yang bersifat teologis.
Menurut Aristoteles, kebijaksanaan tidak merupakan keutamaan moral, melainkan keutamaan intelektual. Menurut pandangan modern, semua keutamaan bersifat moral.
harus mendidik anak-anaknya. Mereka baru bijaksana, bila juga mau menjalankan pengetahuan itu.
3...Keutamaan dan Ethos
Keutamaan membuat manusia menjadi baik secar pribadi. Keutamaan selalu merupakan suatu ciri individual. Suatu perusahaan bisa disebut jujur bukan sebagai perusahaan tetapi karena semua karyawannya memiliki kejujuran sebagai keutamaan. Namun demikian, sejalan dengan keutamaan yang bersifat pribadi itu terdapat juga suatu karakteristik yang membuat kelompok menjadi baik dalam arti moral justru sebagai kelompok, yakni ethos.
Dalam bahasa-bahasa modern, “ethos” menunjukkan ciri-ciri, pandangan, nilai yang menandai suatu kelompok. “Suasana khas yang menandai suatu kelompok, bangsa atau sistem”.
Di sini ethos menunjuk kepada suasana khas yang meliputi kerja atau profesi. Suasana ini dibentuk oleh banyak sifat dan sikap yang terlalu kompleks untuk dapat dianalisis satu per satu. Dan perlu ditekankan lagi bahwa suasana ini dipahami dalam arti baik secara moral. Yang kita maksudkan, jika berbicara tentang ethos profesi, tentulah hal terpuji.
Sering kita dengar tentang ethos profesi kedokteran. Ethos dalam arti ini adalah nilai-nilai luhur dan sifat-sifat baik yang terkandung dalam profesi medis. Ethos dengan tradisi begitu panjang itu terungkap dalam Sumpah Dokter yang diucapkan setiap dokter baru disaat mulai mengemban tugasnya sebagai tenaga medis, bilamana studinya sesudah sekian tahun akhirnya selesai: “Saya akan membaktikan hidup saya guna kepentingan perikemanusiaan”, “Saya akan senantiasa mengutamakan kesehatan penderita”, dan lain-lain. Tidak bisa disangkal, ethos profesi medis ini tidak bisa dicocokan dengan cukup banyak sifat dan sikap yang barangkali dapat diterima dalam ethos profesi lain. Sikap komersial, misalnya, tidak cocok dengan ethos profesi kedokteran.
4.    Orang Kudus dan Pahlawan
Dalam rangka mempelajari mutu moral perbuatan-perbuatan manusia, teori-teori etika biasanya membedakan 3 kategori:
-    Ada perbuatan yang merupakan kewajiban begitu saja dan harus dilakukan.
Kita harus mengatakan yang benar, kita harus menghormati privacy seseorang, dan seterusnya. Kita menjadi baik secara moral, bila melakukan perbuatan-perbuatan ini.

-    Ada perbuatan yang dilarang secara moral dan tidak boleh dilakukan. Kita tidak boleh berbohong, mengingkari janji, membunuh sesama manusia, dan seterusnya. Kita menjadi buruk secara moral, bila melakukan perbuatan jenis ini.

-    Ada perbuatan yang dapat diizinkan dari sudut moral, dalam arti tidak dilarang dan tidak diwajibkan, seperti main catur di waktu senggang, menonton televisi di luar waktu kerja, dan seribu satu kegiatan lain yang mengisi kehidupan kita setiap hari. Perbuatan terakhir ini adalah netral dari sudut moral atau bisa disebut amoral dalam arti seperti sebelumnya sudah dijelaskan: tidak baik dan tidak buruk juga. Kategori perbuatan yang ketiga ini dianggap sama luasnya dengan perbuatan yang tidak termasuk kategori pertama atau kedua.
Dalam sebuah artikel yang terkenal, filsuf Inggris J.O Urmson menjelaskan bahwa kata-kata “kudus” dan “pahlawan” mempunyai arti etis juga. Tentu saja, “kudus” terutama dipakai dalam konteks keagamaan. Dan jika agama menyebut seseorang “kudus”, jelas serentak juga akan ada implikasi moral. Tapi maksud Urmson adalah bahwa “kudus” dipakai juga dalam arti semata-mata etis, terlepas dari segala konotasi religius. Dan “pahlawan” sering kita katakan tanpa maksud moral apa pun, jika – misalnya – kepada bintang film kita beri gelar “pahlawan layar perak” atau kepada juara bulu tangkis gelar “pahlawan dunia olah raga”. Tapi kadang-kadang kita sebut sesesorang kudus atau pahlawan hanya untuk menilai dia dari segi moral. Dan dalam hal ini ada hubungan erat antara 2 kata “kudus” dan “pahlawan” ini.
1.    Kita menyebut seseorang kudus, jika ia melakukan kewajibannya dalam keadaan di mana kebanyakan orang tidak akan melakukan kewajiban mereka, karena terbawa oleh keinginan tak teratur atau kepentingan diri. Misalnya, orang tertentu selalu jujur, walaupun sering tergiur oleh kesempatan melakukan korupsi dengan mudah sekali. Setiap kali ia memang meraasa tergoda oleh kesempatan seperti itu, namun ia selalu berhasil mengatasi godaan itu. Jadi, ia disebut kudus, karena ia menjalankan kewajibannya atas dasar disiplin diri yang luar biasa.
Misalnya: seorang prajurit di medan perang tetap tinggal pada posnya dan tidak melarikan diri, walaupun menghadapi bahaya maut. Setiap kali ia menghadapi bahaya ia memang merasa cenderung melarikan diri, namun ia selalu bisa mengatasi godaan itu. Jadi, ia disebut pahlawan, juga karena ia menjalankan kewajibannya atas dasar disiplin diri luar biasa yang tidak ditemukan pada kebanyakan orang. Orang kudus dan pahlawan ini hanya mengenal 2 perbedaan:

-    Yang ditentang oleh orang kudus dan pahlawan adalah 2 hal yang berbeda. Orang kudus menentang keinginan dan kepentingan diri bila melakukan kewajiban, sedangkan pahlawan menentang ketakutan dan kecenderungan alamiah untuk mempertahankan hidupnya.

-    Supaya seseorang pantas disebut kudus, tidak cukuplah bila satu kali saja ia mengatasi godaan untuk melakukan korupsi. Perlu ia memperlihatkan dulu ketabahan dan konsistensi selama waktu lama. Sedangkan seseorang bisa menjadi pahlawan dengan menentang ketakutan dalam satu peristiwa saja.

2.    Kita menyebut juga seseorang kudus, jika ia melakukan kewajibannya dalam keadaan di mana kebanyakan orang tidak akan melakukannya, bukan karena disiplin diri yang luar biasa melainkan dengan mudah dan tanpa usaha khusus. Dengan kata lain, ia melakukan kewajibannya karena keutamaan. Godaan bagi dia sebenarnya bukan godaan lagi, karena ia sudah biasa berlaku jujur, umpamanya. Begitu pula seseorang bisa disebut pahlawan, jika melakukan kewajibannya dengan mengatasi ketakutan dalam keadaan di mana kebanyakan orang akan melarikan diri, bukan karena disiplin diri yang luar biasa, melainkan karena ia memiliki keutamaan keberanian.

3.    Tetapi kita menyebut juga seseorang kudus atau pahlawan, jika ia melakukan lebih daripada yang diwajibkan. Bahkan gelar “kudus” atau “pahlawan” terutama kita pakai sebagai gelar etis untuk menunjukkan orang yang menurut pandangan umum melampaui batas-batas kewajibannya. Contohnya adalah dokter yang dengan sukarela pergi ke daerah yang dilanda oleh penyakit menular ganas dan tidak mempedulikan kerugian bagi kesehatannya sendiri (bukan saja dokter yang tetap tinggal di tempat tugas setelah wabah mulai). Tidak bisa dikatakan bahwa ia harus pergi. Disini jelas tidak ada kewajiban, karena ia pergi sebagai sukarelawan. Sebab itu sekian banyak dokter lain yang tidak bersedia pergi, tidak bisa ditegur atau dicela, justru karena mereka tidak wajib pergi.
Atau contoh tentang pahlawan: prajurit yang menjerumuskan tubuhnya di atas granat yang mau meledak untuk melindungi kawan-kawannya dan dengan demikian mengorbankan dirinya demi keselamatan orang lain.



F2

1.    Buatlah ilustrasi contoh di lingkungan keluarga yang dimaksud dengan hati nurani sebagai fenomena moral?
2.    Jelaskan yang dimaksud hati nurani retrospesktif dan hati nurani prospektif dan berikan contoh pada keluarga ?
3.    Jelaskan yang dimaksud hati nurani personal dan adipersonal dan contohnya ?
4.    Jelaskan struktur kepribadian menurut pandangan Freud ?
5.    Jelaskan tahapan perkembangan moral anak menurut Kohlberg ?
6.    Berikan contoh sameculture dan quailtculture pada lingkungan keluarga ?























F3

1.    Jelaskan dan sebutkan ciri-ciri nilai moral ?
2.    Jelaskan yang dimaksud dengan nilai secara umum & berikan ilustrasi contoh ?
3.    Menurut Immanuel Kant dalam nilai moral terkandung suatu imperatif kategoris dan imperaktif hipotesis, coba saudara jelaskan dan sertakan contohnya ?
4.    Jelaskan perbedaan kebebasan yuridis & kebebasan psikologis serta berikan masing-masing contohnya ?
5.    Jelaskan perbedaan kebebasan kemerdekaan versus kolonialisme dengan kebebasan eksistensial, serta berikan masing-masing contohnya ?

F4
1.    Menurut Jhon Stuart Mill kewajiban terbagi 2 jenis yakni kewajiban sempurna dan kewajiban tidak sempurna, jelaskan dan berikan masing-masing contoh ?
2.    Jelaskan perbedaan antara hak moral dan hak legal serta berikan contoh ?
3.    Apa yang dimaksud dengan tanggung jawab kolektif dan berikan contoh ?
4.    Jelaskan hubungan kata Kudus dan Pahlawan menurut J.O Urmson dalam kaitannya dengan bobot moral manusia ?
5.    Sebutkan dan jelaskan beberapa unsur dalam keutamaan (being) ?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar